Oleh
: Tri Yuni Adistya
Aku membaringkan tubuhku di atas kasur
empuk kesayanganku, sambil mendengarkan music bervolume keras yang sudah ku
setting sedemikian rupa untuk mengurangi kebisingan hati dan pikiranku. Setiap
malam, bahkan setiap hari orang tuaku selalu bertengkar segala macam. Meskipun
itu hanya hal sepele yang bisa diatasi dengan kepala dingin. Aku benar-benar
nggak tahan dengan semua ini, ingin rasanya kutinggalkan rumah ini
selama-lamanya, tapi aku mempunyai kakak. Kakak perempuan yang harus kujaga
hati dan jiwanya. Suara bising ini sudah biasa bagiku, tapi saat kakakku
berteriak kencang di dalam kamarnya, tepatnya di sebelah kamarku, hatiku
terluka dan teriris oleh pisau tajam. Kencang sekali, seakan-akan
tenggorokannya akan lepas dari tempatnya. Aku sangat sayang kakakku, meskipun
kami hanya beda satu tahun, tapi tingkat kedewasaannya masih di bawahku. Inilah
yang membuatku selalu ingin menjaga hatinya.
Tiba-tiba suara pintu terbanting
terdengar sangat jelas. Hati nuraniku langsung melonjak dan refleksnya aku
langsung mengambil jaket dan kunci motorku. Dia pasti akan ikut balap liar lagi.
Aku bergegas turun ke lantai satu, melewati kedua orang tuaku tanpa
memperdulikan panggilan mereka.
Tepat sekali, motor Alena sudah nggak
ada di parkiran. Besar kemungkinan aku masih bisa mencegahnya, sebelum ia
bertemu dengan teman-temannya yang berandalan.
***
Benar dugaanku, 100 m lagi dia akan
sampai di tempat tongkrongannya. Aku meningkatkan kecepatanku semaksimal
mungkin.
“KAK BRENTIIII” aku teriak tepat di
belakangnya. Sekilas dia menoleh ke belakang lalu merapatkan motornya.
“APA” dia berteriak dengan nada
emosi. “Kamu ngapain ngikutin aku?”
“Temenin aku nonton film” aku
tersenyum seperti anak kecil yang memohon minta permen. Aku yakin dia pasti
mau, karena nonton adalah hobinya juga.
“Hmm, pacarmu tuh kemana?” suaranya
mulai melemah. Nada-nada emosi sudah mulai berkurang, meskipun wajahnya masih
terlihat sama seperti sebelumnya.
“Kakak kan tau aku nggak punya
pacar” senyumku tambah merekah. Nada manja adalah andalanku kepada kakakku.
Karena nada manja inilah yang membuatnya luluh dan meringankan emosinya. Rasa
sayang benar-benar kurasakan dari lubuk hatinya.
“Baiklah” akhirnya kak Alena
mengangguk dengan pasti.
Kami pun berangkat dengan gaya
seadanya, menggunakan motor masing-masing. Syukurlah, aku masih bisa
mengendalikan amarahnya sementara.
***
Sesampainya di bioskop. Kami jalan
berdua, bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Dan akibatnya banyak
pasang mata memperhatikan kami. Aku memang lebih tinggi dari kakakku, jadi
nggak ada yang menyangka kalau kami adalah saudara. Hahaha menyenangkan sekali
bisa menjaganya dari teman-teman berandalannya itu.
***
Hari berganti hari, dan bulan berganti
bulan. Kedua orang tua kami telah resmi bercerai selama 2 bulan. Dan selama 2
bulan itu, mamaku terus menangis dan menangis karena setiap pulang sekolah wajahku
selalu terluka. Kak Alena sudah hampir seminggu nggak masuk sekolah. Peringatan
dari sekolah sudah tidak dipedulikan lagi sama sekali. Hatinya selalu menjerit
dan tangannya susah terkontrol selama di sekolah. Dia berkelahi dengan temannya
di sekolah, karena emosinya sudah susah terkontrol. Begitu juga aku.
Kami menjadi bahan bullyan satu
sekolah, karena dalam jangka waktu seminggu gossip tentang ayah kami menyebar
luas. Seorang pengusaha kaya terjerat hutang karena korupsi dan yang ku dengar,
dia pemakai narkoba saat stress menghantam otak busuknya. Aku nggak habis pikir,
makanya dia selalu seperti orang gila kalau sudah ada di rumah.
Dan sekarang keluargaku benar-benar
hancur. Ibuku selalu pulang malam karena banyak pekerjaan yang harus dia
kerjakan, kakakku tambah hancur seperti hatinya yang telah hancur, dan aku
harus selalu berantem dan bolak-balik ruang BK gara-gara ucapan mereka yang
terus menggerogoti pikiranku. Cobaan ini terasa nggak ada hentinya, selalu
mengalir bagaikan air tenang yang berombak dahsyat hingga menimbulkan tsunami
yang tak terlupakan.
***
Ciit.. ciit.. ciit..
Alarm
hapeku berbunyi, tanda sebuah kematian akan berlanjut lagi. sebuah neraka yang
selalu mencabikku, akan mencabikku lagi semakin dalam. Udara dingin yang
menusuk jantungku, seperti pembunuh yang juga ingin membunuhku secara perlahan
tanpa bisa merasakan sebuah kehangatan.
Aku
bangkit dari tidurku, dan mempersiapkan diri pergi ke sekolah neraka. Ya,
sebuah sekolah yang hanya berisi orang-orang munafik yang sok peduli padahal
terus menikamku tajam dari belakang. Perlahan mengoyak otak dan hatiku. Sakit.
***
Jam
istirahat dimulai. Aku dipanggil oleh wali kelasku ke kantor. Pikiranku udah
nggak karuan, mumet dan takut. Tapi panggilan raja harus selalu dipatuhi.
“Ada
apa pak” tanyaku.
Pak
Yudo tersenyum hangat kepadaku. Senyuman itu membuatku terasa nyaman dan
tenang. Sebelum ia berbicara, ia memperlihatkanku sebuah lembar monitoring
nilai-nilaiku. Lalu dia menjelaskan dengan cepat, singkat dan padat. Hal yang
dapat kusimpulkan adalah Pak Yudo telah mendaftarkanku dan kakakku menjadi
peserta lomba olimpiade Fisika.
“APA?”
nada suaraku dengan reflek meningkat. Semua pasang mata memperhatikanku dengan
tajam. Tapi aku udah nggak peduli lagi. “Maaf pak, saya reflex” jelasku.
“Iya,
saya paham kok. Saya tahu semua masalah kamu, dan ini satu-satunya cara agar
namamu dan Alena bersih di sekolah ini”
“Dengan
membawa nama sekolah ke tingkat Internasional? Nggak mungkin pak, ini
benar-benar mustahil” aku menggelengkan kepalaku. Benar-benar di luar batas
pemahamanku.
Aku
terus mengelak, tapi Pak Yudo tetap bersemangat dan terus meyakinkanku dengan
berbagai cara. Dari segi ekonomi, fisik bahkan akademiku dan kakakku akan
terjamin jika memenangkan olimpiade tingkat internasional ini.
Dan
akhirnya aku mengiyakan, sekarang masalahnya adalah kakakku yang sudah malas
menginjakkan kakinya di sekolah. Hatinya benar-benar hancur dan hidupnya jadi
berantakan. Setiap hari dia pulang subuh, entah apa yang dia lakukan di malam
hari. Karena dia pergi tanpa suara kaki.
Keesokan
paginya, aku mendapat panggilan telepon dari kantor polisi. Sebenarnya
jantungku juga berdebar, apa yang terjadi? Setelah panggilan itu, aku langsung
bergegas ke kantor polisi. Selama perjalanan, aku terus berfikir. Kenapa nomor
ponselku yang ditelpon, dan bukan nomornya mamaku? Hmm entahlah.
Sesampainya
di sana, aku dijelaskan petugas secara detail. Mulutku menganga tak sanggup
harus berkata apa-apa lagi. Alena tertangkap karena tawuran pelajar dan
wajahnya babak belur, karena dia masih di bawah umur dan ngakunya nggak punya
orang tua, petugas polisi membebaskannya dengan peringatan nggak akan mengulang
lagi. pantasan nomor ponselku yang dihubungi. Kami pun pulang.
“Ayolah
kak, kita harus ikut olimpiade ini, kalo kita bisa lolos sampe internasional,
itu bisa membersihkan nama keluarga kita kak” ajakku dengan antusias.
“Nggak
akan, kalau yang namanya koruptor itu ya tetap koruptor” Alena tetap ngedumel
di atas motor.
Sesampainya
di rumah, aku mengajak Alena mendekati kamar mama.
“Lihatlah
kak, mata mama sampe bengkak” kubukakan pintu kamarnya setengah, memperlihatkan
mamanya yang sedang tertidur.
“Kesalahannya
kan, bukan urusanku” Alena tetap cuek.
Aku
sudah nggak tahan lagi dengan semua ucapannya yang selalu nyerah, bahkan
sekarang dia tega menyalahkan mamanya sendiri yang setiap malam susah tidur
karena menunggunya pulang dari balap liar. Tanganku gatal, tak terasa tanganku
melayang tepat di atas pipinya. Plakkk.
“KAMU”
Alena teriak hingga membangunkan mama. Terlihat senyum bahagia dari bibir mama
saat melihat Alena. Lalu ia pergi ke kamar tanpa memperhatikan mamanya lagi.
Aku
benar-benar nggak sadar. Tapi hatiku merasa puas tanpa rasa bersalah
sedikitpun. Semoga pukulan tadi dapat membuka sedikit memori otaknya dan
hatinya. Aku pergi ke kamar. Membuka lemari buku dan mencoba belajar buat
olimpiade nanti. Pintu sengaja kubuka lebar, supaya hatinya tergugah melihatku
berusaha.
***
Pukul
3 pagi. Pintu masih terbuka. Aku sengaja tidak mengakhiri belajarku sampai Alena
benar-benar melihatku. Berjalan menuju 3.30 pagi, suara kaki mulai terdengar
dan aku semakin serius. Buku-buku sengaja kuhambur diseluruh kamar, biar dia
melihatnya dengan jelas.
“Kenapa
kamu belum tidur” tanyanya saat di depan pintu kamarku.
“Aku
akan ikut olimpiade itu dengan hasil terbaik” jawabku tegas tanpa menoleh ke
arahnya.
“Whatever”
dia pergi meninggalkan kamarku.
Di
dalam kamar. Alena terus berfikir. Ikut atau nggak. Hatinya mulai tergugah saat
melihat mata mamanya bengkak dan adiknya yang benar-benar serius. Selama
beberapa waktu dia terus berfikir, mungkin ada baiknya juga mencoba. Sapatau
bisa.
Keesokan
harinya, Alena berseragam dan siap berangkat sekolah. Dia sengaja berangkat
pagi, supaya bisa ke perpustakaan dan mencari referensi-referensi buat
olimpiade. Awalnya aku agak takjub plus senang. Tapi aku nggak banyak bertanya.
Kami pun berangkat bareng, tapi kali ini aku yang menyetir untuknya.
Di
sekolah, kami juga dapat bimbingan dari pak Yudo untuk persiapan olimpiade.
Tanpa membayar sedikitpun, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Pagi menuju
malam, buku-buku Fisika nggak pernah lepas dari kami. Saat membantu mama pun
mereka tetap mendampingi kami.
***
H-1
adalah saat-saat yang berharga bagi kami. Tapi Alena sengaja liburan dengan
teman-temannya tanpa mengajakku. Aku yakin tidak akan jadi masalah.
Tapi
hari menjelang malam, dia belum pulang juga. Aku khawatir dan terus menghubungi
ponselnya. Tapi tidak aktif semejak dia pergi tadi. Apa yang terjadi? Entahlah.
Aku dan mama menunggunya di teras. Kami terus berdoa supaya dia kembali dengan
selamat. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul 12.05 malam, aku mengantarkan
mamaku ke kamar dan tidur. Sedangkan aku akan tetap menunggunya, karena ini
bukan hal yang biasa bagiku. Tiba-tba ponselku berdering. Alena menelpon, tapi
bukan suaranya. Pikiranku sudah nggak karuan entah kemana. Dia terus mengoceh,
mengumpat tanpa jeda tanpa memberiku kesempatan berbicara. Di akhir kata, dia
menginginkan sesuatu untuk menebus Alena, untuk mengganti rugi uang-uang yang telah
dikorupsi ayahnya. Kepalaku serasa mau meledak, nggak mungkin aku cerita sama
mama. Kesempatan terakhir 10 detik, kalau aku nggak cepat, Alena akan
kehilangan keperawanannya. Ide gila muncul di kepalaku.
“Baiklah,
aku akan menjadi budakmu sampai hutang ayahku lunas. Tapi dengan satu syarat,
jangan ganggu keluargaku setelah ini. Aku janji akan menjadi budakmu setelah
lulus sekolahku” entah apa yang kulakukan dan kukatakan, yang penting ia
selamat tanpa luka apapun.
Mereka
pun setuju, dan akan mengantarkan Alena menuju perlombaan besok pagi. Terasa
lega mendengarnya, tapi hal ini akan fatal dalam kehidupanku I don’t care.
Keesokan paginya, aku melihatnya
dengan wajah marah. Aku mengerti, aku langsung menyuruhnya mengganti seragam
yang telah disiapkan mama. Mama nggak boleh tau tentang ini, dia hanya tau
kalau Alena menginap di rumah temannya.
Perlombaan berjalan sangat tegang.
Saingan kami berasal dari sekolah internasional. Tapi kami diajarkan untuk
tetap tenang dan optimis. Meskipun banyak dari beberapa sekolah yang
memperhatikan kami. Ya, kami sudah terkenal sebagai anak koruptor. But we don’t care anymore and keep focus for
our competition.
Akhirnya
persaingan selesai. Kami lega dan puas, karena kami menang dan akan berlanjut
ke tingkat yang lebih tinggi. Kejadian sebelumnya telah kulupakan, karena siap
nggak siap, aku harus melakukannya. Itu sudah pasti akan aku lakukan.
***
Beberapa
bulan kemudian, setelah aku lulus dari sekolah. Mamaku hanya mengetahuiku kalau
aku sedang kuliah bersama kakakku di Bandung. Tapi ternyata semua itu salah.
Dia telah mengetahui kalau aku telah menjadi budak anggota politik dan kakakku
benar kuliah, tapi sambil kerja untuk menutupi kekurangan dan mengurangi beban
kerjaku sebagai budak.
Mamaku sangat sedih mengetahuinya.
Entah siapa yang membocorkannya. Aku sangat menyesal. Mamaku tidak mempunyai
apapun lagi yang berharga. Hanya satu yang dapat ia jual dan berharga mahal,
yaitu ginjalnya.
Awalnya aku dan kakakku nggak pernah
tau kalau mama kami berkeliling rumah sakit
di seluruh penjuru kota untuk mendapatkan pembeli ginjal dengan harga
mahal.
Saat mendapatkan pembeli ginjal yang
murah hati, mamaku membebaskanku sebagai budak muda. Tanganku sudah sangat
kasar dan badanku mulai berotot. Saat aku mengetahui kalau mamaku menebus
dengan ginjalnya, aku sangat sedih. Air mataku terus mengalir di bawah kakinya.
Aku bersujud di bawah kakinya, kucium kakinya dan kubersihkan kakinya. Kakakku
hanya bisa melihatnya, air matanya juga terus mengalir tanpa henti. Kini tubuhnya
juga penuh luka karena pekerjaan beratnya. Tapi IP kuliahnya tidak pernah
mengecewakan. Aku senang, sedih, dan tak bisa dimaafkan.
***
Kemudian, beberapa bulan kemudian
mamaku meninggal. Ia meninggalkan kami karena sakit yang dideritanya akibat
hanya mempunyai satu ginjal. Tangisan kami benar-benar pecah. Pengorbanan kami kepadanya belum lunas terbayar dengan
segala kebaikan hatinya dan ketegaran jiwanya. Sungguh dosa besar yang kami
lakukan.
***
Sepeninggalan mama, aku mendaftar
sebagai mahasiswa di universitas terkenal di Bandung. Sebuah Universitas yang
sama dengan kakakku. Dengan jurusan hokum. Ya hokum, dari segala pengalaman
yang telah kami jalani selama inilah yang membuat hatiku tergugah untuk
menegakkan hukum yang selama ini tidak adil. Aku tau, uangku tidaklah cukup.
Apalagi kakaku juga kuliah sambil bekerja untuk menutupi kekurangannya. Akupun
juga bekerja sebagai buruh pabrik roti di sana. Yaa alhamdulillah setiap roti
yang tidak habis terjual bisa kubawa pulang ke rumah kontrakan kami. kalau
dipikir-pikir penghasilan kami tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami.
tapi berkat dari Sang Penciptalah yang membuat kami masih bertahan hidup dan
saling melengkapi. Karena seperti itulah keluarga. Aku menyayangi kakakku dan
kakakku menyayangiku. Kami hidup dengan baik dengan saling menjaga satu sama
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar