Selasa, 08 Mei 2018

My Life Is My Destiny


Oleh : Tri Yuni Adistya
            Aku membaringkan tubuhku di atas kasur empuk kesayanganku, sambil mendengarkan music bervolume keras yang sudah ku setting sedemikian rupa untuk mengurangi kebisingan hati dan pikiranku. Setiap malam, bahkan setiap hari orang tuaku selalu bertengkar segala macam. Meskipun itu hanya hal sepele yang bisa diatasi dengan kepala dingin. Aku benar-benar nggak tahan dengan semua ini, ingin rasanya kutinggalkan rumah ini selama-lamanya, tapi aku mempunyai kakak. Kakak perempuan yang harus kujaga hati dan jiwanya. Suara bising ini sudah biasa bagiku, tapi saat kakakku berteriak kencang di dalam kamarnya, tepatnya di sebelah kamarku, hatiku terluka dan teriris oleh pisau tajam. Kencang sekali, seakan-akan tenggorokannya akan lepas dari tempatnya. Aku sangat sayang kakakku, meskipun kami hanya beda satu tahun, tapi tingkat kedewasaannya masih di bawahku. Inilah yang membuatku selalu ingin menjaga hatinya.
            Tiba-tiba suara pintu terbanting terdengar sangat jelas. Hati nuraniku langsung melonjak dan refleksnya aku langsung mengambil jaket dan kunci motorku. Dia pasti akan ikut balap liar lagi. Aku bergegas turun ke lantai satu, melewati kedua orang tuaku tanpa memperdulikan panggilan mereka.
            Tepat sekali, motor Alena sudah nggak ada di parkiran. Besar kemungkinan aku masih bisa mencegahnya, sebelum ia bertemu dengan teman-temannya yang berandalan.
***
            Benar dugaanku, 100 m lagi dia akan sampai di tempat tongkrongannya. Aku meningkatkan kecepatanku semaksimal mungkin.
            “KAK BRENTIIII” aku teriak tepat di belakangnya. Sekilas dia menoleh ke belakang lalu merapatkan motornya.
            “APA” dia berteriak dengan nada emosi. “Kamu ngapain ngikutin aku?”
            “Temenin aku nonton film” aku tersenyum seperti anak kecil yang memohon minta permen. Aku yakin dia pasti mau, karena nonton adalah hobinya juga.
            “Hmm, pacarmu tuh kemana?” suaranya mulai melemah. Nada-nada emosi sudah mulai berkurang, meskipun wajahnya masih terlihat sama seperti sebelumnya.
            “Kakak kan tau aku nggak punya pacar” senyumku tambah merekah. Nada manja adalah andalanku kepada kakakku. Karena nada manja inilah yang membuatnya luluh dan meringankan emosinya. Rasa sayang benar-benar kurasakan dari lubuk hatinya.
            “Baiklah” akhirnya kak Alena mengangguk dengan pasti.
            Kami pun berangkat dengan gaya seadanya, menggunakan motor masing-masing. Syukurlah, aku masih bisa mengendalikan amarahnya sementara.
***
            Sesampainya di bioskop. Kami jalan berdua, bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Dan akibatnya banyak pasang mata memperhatikan kami. Aku memang lebih tinggi dari kakakku, jadi nggak ada yang menyangka kalau kami adalah saudara. Hahaha menyenangkan sekali bisa menjaganya dari teman-teman berandalannya itu.
***
            Hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Kedua orang tua kami telah resmi bercerai selama 2 bulan. Dan selama 2 bulan itu, mamaku terus menangis dan menangis karena setiap pulang sekolah wajahku selalu terluka. Kak Alena sudah hampir seminggu nggak masuk sekolah. Peringatan dari sekolah sudah tidak dipedulikan lagi sama sekali. Hatinya selalu menjerit dan tangannya susah terkontrol selama di sekolah. Dia berkelahi dengan temannya di sekolah, karena emosinya sudah susah terkontrol. Begitu juga aku.
            Kami menjadi bahan bullyan satu sekolah, karena dalam jangka waktu seminggu gossip tentang ayah kami menyebar luas. Seorang pengusaha kaya terjerat hutang karena korupsi dan yang ku dengar, dia pemakai narkoba saat stress menghantam otak busuknya. Aku nggak habis pikir, makanya dia selalu seperti orang gila kalau sudah ada di rumah.
            Dan sekarang keluargaku benar-benar hancur. Ibuku selalu pulang malam karena banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan, kakakku tambah hancur seperti hatinya yang telah hancur, dan aku harus selalu berantem dan bolak-balik ruang BK gara-gara ucapan mereka yang terus menggerogoti pikiranku. Cobaan ini terasa nggak ada hentinya, selalu mengalir bagaikan air tenang yang berombak dahsyat hingga menimbulkan tsunami yang tak terlupakan.
***
            Ciit.. ciit.. ciit..
Alarm hapeku berbunyi, tanda sebuah kematian akan berlanjut lagi. sebuah neraka yang selalu mencabikku, akan mencabikku lagi semakin dalam. Udara dingin yang menusuk jantungku, seperti pembunuh yang juga ingin membunuhku secara perlahan tanpa bisa merasakan sebuah kehangatan.
Aku bangkit dari tidurku, dan mempersiapkan diri pergi ke sekolah neraka. Ya, sebuah sekolah yang hanya berisi orang-orang munafik yang sok peduli padahal terus menikamku tajam dari belakang. Perlahan mengoyak otak dan hatiku. Sakit.
***
Jam istirahat dimulai. Aku dipanggil oleh wali kelasku ke kantor. Pikiranku udah nggak karuan, mumet dan takut. Tapi panggilan raja harus selalu dipatuhi.
“Ada apa pak” tanyaku.
Pak Yudo tersenyum hangat kepadaku. Senyuman itu membuatku terasa nyaman dan tenang. Sebelum ia berbicara, ia memperlihatkanku sebuah lembar monitoring nilai-nilaiku. Lalu dia menjelaskan dengan cepat, singkat dan padat. Hal yang dapat kusimpulkan adalah Pak Yudo telah mendaftarkanku dan kakakku menjadi peserta lomba olimpiade Fisika.
“APA?” nada suaraku dengan reflek meningkat. Semua pasang mata memperhatikanku dengan tajam. Tapi aku udah nggak peduli lagi. “Maaf pak, saya reflex” jelasku.
“Iya, saya paham kok. Saya tahu semua masalah kamu, dan ini satu-satunya cara agar namamu dan Alena bersih di sekolah ini”
“Dengan membawa nama sekolah ke tingkat Internasional? Nggak mungkin pak, ini benar-benar mustahil” aku menggelengkan kepalaku. Benar-benar di luar batas pemahamanku.
Aku terus mengelak, tapi Pak Yudo tetap bersemangat dan terus meyakinkanku dengan berbagai cara. Dari segi ekonomi, fisik bahkan akademiku dan kakakku akan terjamin jika memenangkan olimpiade tingkat internasional ini.
Dan akhirnya aku mengiyakan, sekarang masalahnya adalah kakakku yang sudah malas menginjakkan kakinya di sekolah. Hatinya benar-benar hancur dan hidupnya jadi berantakan. Setiap hari dia pulang subuh, entah apa yang dia lakukan di malam hari. Karena dia pergi tanpa suara kaki.
Keesokan paginya, aku mendapat panggilan telepon dari kantor polisi. Sebenarnya jantungku juga berdebar, apa yang terjadi? Setelah panggilan itu, aku langsung bergegas ke kantor polisi. Selama perjalanan, aku terus berfikir. Kenapa nomor ponselku yang ditelpon, dan bukan nomornya mamaku? Hmm entahlah.
Sesampainya di sana, aku dijelaskan petugas secara detail. Mulutku menganga tak sanggup harus berkata apa-apa lagi. Alena tertangkap karena tawuran pelajar dan wajahnya babak belur, karena dia masih di bawah umur dan ngakunya nggak punya orang tua, petugas polisi membebaskannya dengan peringatan nggak akan mengulang lagi. pantasan nomor ponselku yang dihubungi. Kami pun pulang.
“Ayolah kak, kita harus ikut olimpiade ini, kalo kita bisa lolos sampe internasional, itu bisa membersihkan nama keluarga kita kak” ajakku dengan antusias.
“Nggak akan, kalau yang namanya koruptor itu ya tetap koruptor” Alena tetap ngedumel di atas motor.
Sesampainya di rumah, aku mengajak Alena mendekati kamar mama.
“Lihatlah kak, mata mama sampe bengkak” kubukakan pintu kamarnya setengah, memperlihatkan mamanya yang sedang tertidur.
“Kesalahannya kan, bukan urusanku” Alena tetap cuek.
Aku sudah nggak tahan lagi dengan semua ucapannya yang selalu nyerah, bahkan sekarang dia tega menyalahkan mamanya sendiri yang setiap malam susah tidur karena menunggunya pulang dari balap liar. Tanganku gatal, tak terasa tanganku melayang tepat di atas pipinya. Plakkk.
“KAMU” Alena teriak hingga membangunkan mama. Terlihat senyum bahagia dari bibir mama saat melihat Alena. Lalu ia pergi ke kamar tanpa memperhatikan mamanya lagi.
Aku benar-benar nggak sadar. Tapi hatiku merasa puas tanpa rasa bersalah sedikitpun. Semoga pukulan tadi dapat membuka sedikit memori otaknya dan hatinya. Aku pergi ke kamar. Membuka lemari buku dan mencoba belajar buat olimpiade nanti. Pintu sengaja kubuka lebar, supaya hatinya tergugah melihatku berusaha.
***
Pukul 3 pagi. Pintu masih terbuka. Aku sengaja tidak mengakhiri belajarku sampai Alena benar-benar melihatku. Berjalan menuju 3.30 pagi, suara kaki mulai terdengar dan aku semakin serius. Buku-buku sengaja kuhambur diseluruh kamar, biar dia melihatnya dengan jelas.
“Kenapa kamu belum tidur” tanyanya saat di depan pintu kamarku.
“Aku akan ikut olimpiade itu dengan hasil terbaik” jawabku tegas tanpa menoleh ke arahnya.
“Whatever” dia pergi meninggalkan kamarku.
Di dalam kamar. Alena terus berfikir. Ikut atau nggak. Hatinya mulai tergugah saat melihat mata mamanya bengkak dan adiknya yang benar-benar serius. Selama beberapa waktu dia terus berfikir, mungkin ada baiknya juga mencoba. Sapatau bisa.
Keesokan harinya, Alena berseragam dan siap berangkat sekolah. Dia sengaja berangkat pagi, supaya bisa ke perpustakaan dan mencari referensi-referensi buat olimpiade. Awalnya aku agak takjub plus senang. Tapi aku nggak banyak bertanya. Kami pun berangkat bareng, tapi kali ini aku yang menyetir untuknya.
Di sekolah, kami juga dapat bimbingan dari pak Yudo untuk persiapan olimpiade. Tanpa membayar sedikitpun, kami akan berusaha semaksimal mungkin. Pagi menuju malam, buku-buku Fisika nggak pernah lepas dari kami. Saat membantu mama pun mereka tetap mendampingi kami.
***
H-1 adalah saat-saat yang berharga bagi kami. Tapi Alena sengaja liburan dengan teman-temannya tanpa mengajakku. Aku yakin tidak akan jadi masalah.
Tapi hari menjelang malam, dia belum pulang juga. Aku khawatir dan terus menghubungi ponselnya. Tapi tidak aktif semejak dia pergi tadi. Apa yang terjadi? Entahlah. Aku dan mama menunggunya di teras. Kami terus berdoa supaya dia kembali dengan selamat. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul 12.05 malam, aku mengantarkan mamaku ke kamar dan tidur. Sedangkan aku akan tetap menunggunya, karena ini bukan hal yang biasa bagiku. Tiba-tba ponselku berdering. Alena menelpon, tapi bukan suaranya. Pikiranku sudah nggak karuan entah kemana. Dia terus mengoceh, mengumpat tanpa jeda tanpa memberiku kesempatan berbicara. Di akhir kata, dia menginginkan sesuatu untuk menebus Alena, untuk mengganti rugi uang-uang yang telah dikorupsi ayahnya. Kepalaku serasa mau meledak, nggak mungkin aku cerita sama mama. Kesempatan terakhir 10 detik, kalau aku nggak cepat, Alena akan kehilangan keperawanannya. Ide gila muncul di kepalaku.
“Baiklah, aku akan menjadi budakmu sampai hutang ayahku lunas. Tapi dengan satu syarat, jangan ganggu keluargaku setelah ini. Aku janji akan menjadi budakmu setelah lulus sekolahku” entah apa yang kulakukan dan kukatakan, yang penting ia selamat tanpa luka apapun.
Mereka pun setuju, dan akan mengantarkan Alena menuju perlombaan besok pagi. Terasa lega mendengarnya, tapi hal ini akan fatal dalam kehidupanku I don’t care.
            Keesokan paginya, aku melihatnya dengan wajah marah. Aku mengerti, aku langsung menyuruhnya mengganti seragam yang telah disiapkan mama. Mama nggak boleh tau tentang ini, dia hanya tau kalau Alena menginap di rumah temannya.
            Perlombaan berjalan sangat tegang. Saingan kami berasal dari sekolah internasional. Tapi kami diajarkan untuk tetap tenang dan optimis. Meskipun banyak dari beberapa sekolah yang memperhatikan kami. Ya, kami sudah terkenal sebagai anak koruptor. But we don’t care anymore and keep focus for our competition.
            Akhirnya persaingan selesai. Kami lega dan puas, karena kami menang dan akan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Kejadian sebelumnya telah kulupakan, karena siap nggak siap, aku harus melakukannya. Itu sudah pasti akan aku lakukan.
***
Beberapa bulan kemudian, setelah aku lulus dari sekolah. Mamaku hanya mengetahuiku kalau aku sedang kuliah bersama kakakku di Bandung. Tapi ternyata semua itu salah. Dia telah mengetahui kalau aku telah menjadi budak anggota politik dan kakakku benar kuliah, tapi sambil kerja untuk menutupi kekurangan dan mengurangi beban kerjaku sebagai budak.
            Mamaku sangat sedih mengetahuinya. Entah siapa yang membocorkannya. Aku sangat menyesal. Mamaku tidak mempunyai apapun lagi yang berharga. Hanya satu yang dapat ia jual dan berharga mahal, yaitu ginjalnya.
            Awalnya aku dan kakakku nggak pernah tau kalau mama kami berkeliling rumah sakit  di seluruh penjuru kota untuk mendapatkan pembeli ginjal dengan harga mahal.
            Saat mendapatkan pembeli ginjal yang murah hati, mamaku membebaskanku sebagai budak muda. Tanganku sudah sangat kasar dan badanku mulai berotot. Saat aku mengetahui kalau mamaku menebus dengan ginjalnya, aku sangat sedih. Air mataku terus mengalir di bawah kakinya. Aku bersujud di bawah kakinya, kucium kakinya dan kubersihkan kakinya. Kakakku hanya bisa melihatnya, air matanya juga terus mengalir tanpa henti. Kini tubuhnya juga penuh luka karena pekerjaan beratnya. Tapi IP kuliahnya tidak pernah mengecewakan. Aku senang, sedih, dan tak bisa dimaafkan.
***
            Kemudian, beberapa bulan kemudian mamaku meninggal. Ia meninggalkan kami karena sakit yang dideritanya akibat hanya mempunyai satu ginjal. Tangisan kami benar-benar pecah. Pengorbanan  kami kepadanya belum lunas terbayar dengan segala kebaikan hatinya dan ketegaran jiwanya. Sungguh dosa besar yang kami lakukan.
***
            Sepeninggalan mama, aku mendaftar sebagai mahasiswa di universitas terkenal di Bandung. Sebuah Universitas yang sama dengan kakakku. Dengan jurusan hokum. Ya hokum, dari segala pengalaman yang telah kami jalani selama inilah yang membuat hatiku tergugah untuk menegakkan hukum yang selama ini tidak adil. Aku tau, uangku tidaklah cukup. Apalagi kakaku juga kuliah sambil bekerja untuk menutupi kekurangannya. Akupun juga bekerja sebagai buruh pabrik roti di sana. Yaa alhamdulillah setiap roti yang tidak habis terjual bisa kubawa pulang ke rumah kontrakan kami. kalau dipikir-pikir penghasilan kami tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. tapi berkat dari Sang Penciptalah yang membuat kami masih bertahan hidup dan saling melengkapi. Karena seperti itulah keluarga. Aku menyayangi kakakku dan kakakku menyayangiku. Kami hidup dengan baik dengan saling menjaga satu sama lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar