Kamis, 10 Mei 2018

“Meriam Hati”


Oleh : Tri Yuni Adistya
“Kenapa sih mama selalu beliin baju kembar” wajahnya merengut kesal membanting baju baru yang baru beberapa menit dibelikan mamanya.
            “karena kalian kan kembar, mama suka kalau kalian juga pake baju kembar” dengan nada yang halus, mamanya masih mencoba sabar menahan batin.
            “Tapi Laela nda suka ma dikembarin sama Laeli” wajahnya masih merengut kesal tanpa mau menoleh sedikitpun
            “Panggil dia kakak, dia itu kakakmu” mamanya terus mengelus dada
            Tanpa menjawab lagi, Laela langsung pergi meninggalkan mamanya dan Laeli yang sedari tadi diam tanpa suara. Emosinya masih terus ia tahan. Laeli memang anak yang sabar. Ia pintar dan penurut, sehingga banyak teman yang senang bermain dengannya. Tapi ada 1 sahabat yang selalu hadir menemani gundah gelisah di hatinya. Segala sesak dada Ia tumpahkan padanya yang selalu setia berada disampingnya. Menjadi pengobat rindu, dan pengobat hati. Kejadian hari ini cukup menyakitkan bagi Laeli. Laeli pamit keluar menemui sahabatnya, dan mama mengizinkan.
            “Ari, sebenarnya apakah tindakan bagus selalu mengalah pada saudara kembar?” wajahnya tertunduk di bangku taman yang sesak dengan anak-anak bermain bola.
            “Kenapa? Kenapa selalu itu yang kamu tanyakan?” tangannya memegang pundak Laeli menenangkan.
            “Aku… aku bingung harus bagaimana, aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku… aku bingung dan aku menyayanginya” seketika tangisnya pecah ditengah kebisingan, wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Tidak mampu lagi membendung dan menahan itu semua.
            “Tenanglah Laeli, ada mamamu yang sayang padamu, dan ada aku yang… “ perkataanya berhenti tiba-tiba, lalu ia merangkulkan tangannya pada pundak Laeli. “ada aku yang akan selalu ada untukmu” ia melanjutkan kata-katanya dengan ragu.
            Seketika suasana menjadi sepi tanpa obrolan. Yang terdengar hanya suara teriakan anak-anak bermain bola dan tangisan Laeli yang belum terhenti. Ari masih menenangkannya dengan sabar. Seakan-akan ia juga ikut merasakan kepedihan yang terus menggores di hati Laeli. Belum kering luka dibuat adiknya, adiknya terus mencambuk pembuluh darah kakaknya yang selalu bungkam dan terlilit rantai kesabaran.
            Detik waktu terus berjalan tanpa memperhatikan keadaan. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Saatnya Laeli dan Ari pulang ke rumah. Ari mengantarkan Laeli sampai ke rumah dengan suasana hati yang sudah membaik setelah ditraktir ice cream strawberry kesukaan Laeli. Jarak rumah mereka hanya dibatasi oleh tiga rumah, makanya Ari sering berkunjung ke rumah dan sudah seperti anak sendiri dari keluarga Laeli.
###
            “Ari… Ariii…” Laeli sudah menegtuk pintu rumah Ari dari tadi, tapi tidak ada jawaban dari sahabatnya. “apa Ari masih tidur ya? Tapi ini kan sudah mau telat berangkat sekolah” laeli masih terus mengetuk pintu rumanya. Hingga akhirnya bu Ros, tetangga mereka keluar dari dalam rumah.
            “Keluarga Ari sudah pindah rumah Laeli, masa’ nda dikasi tau Ari?” kata bu Ros.
            “Pindah? tapi Ari nggak ngomong apa-apa ke Laeli kemaren” hatinya langsung merasa sakit karena tidak ada kabar sama sekali, ditambah lagi Ari nggak ada pamit ke Laeli. Air matanya sudah tidak bisa dibendung, ia menangis di depan pintu. Melihat Laeli menangis, bu Ros mengantarkan Laeli pulang ke rumahnya.
            Laeli langsung memasuki kamarnya, dan membanting pintu kencang. Mamanya mengerti dan paham betul apa yang dirasakannya. Ari sengaja tidak mau mengabarkan kepindahannya, dan mamanya mengerti maksudnya.
            Laeli menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Akhirnya ia bolos sekolah dan hanya mengurung di dalam kamar sampai sore hari. Saudara kembarnya sedikit khawatir dengan keadaannya, karena dia belum makan dari pagi. Meskipun ia benci dengan kakaknya, tapi terkadang ia juga merasakan sakit saat kakaknya juga sakit. Ia paham betul dengan sakitnya, tapi ia mengabaikannya.
###
            Jarum jam terus berputar, hari berganti bulan dan bulan berganti tahun. Musim sudah tidak terhitung dan  umur sudah berkurang. Laeli dan Laela sudah menginjak semester 6. Tapi Laela tetaplah Laela yang dulu, ia tetap tidak suka, dan belum bisa akur dengan kakaknya. Jadi mereka berkuliah di kampus yang berbeda. Kepribadian Laeli yang tertutup terus mendatangkan serigala berbulu domba disekelilingnya. Paras cantiknya terus membuat para serigala mengincarnya untuk dijadikan mangsa. Sedangkan Laela adalah orang yang terbuka, terbuka dengan segala hal sampai terkadang banyak yang tersinggung dengan ucapannya.
            Mall ini terlihat sepi dari biasanya. Disaat seperti inilah hal yang paling Laela and the gengs suka. Nongkrong di Finz, mencicipi semua rasa ice cream terbaru tanpa banyak yang memperhatikan mereka. Hmm… yummy. Disela-sela mereka mencicipi semangkok ice cream rasa green tea, disela-sela itu juga ada tatapan mata aneh dari seberang meja mereka yang nggak terlalu jauh. Diantara gerombolan cowok-cowok yang bisa dibilang lumayan lah, ada satu cowok yang nggak melepaskan tatapan matanya pada meja Laela. Entah siapa yang ia lihat, tapi itu mengerikan. Tatapan matanya seperti serigala yang mencari mangsa lezat untuk santapan makan siang. Laela, Indri, dan Asti balik memperhatikannya dan ia tetap memperhatikan mereka tanpa ada rasa malu dan memalingkan wajahnya yang tercyduk.
            Kengerian malah membuat bulu kuduk merinding. Apa jangan-jangan dia psikopat? Apa jangan-jangan dia pedofil? hmm… pedofil kayanya nda cocok, karena dia seperti seumuran aja. Terus mau apa dia? Akhirnya mereka bertiga saling tatap dan mempercepat makan mereka. Segera mungkin mereka meninggalkan  tempat itu karena aura serigala berdarah domba seakan telah menyebar ke seluruh ruangan.
            Secepat langkah kaki mereka, tidak secepat langkah kaki pemuda itu. Pemuda itu mengikuti mereka dan akhirnya mereka saling kejar-mengejar. Tatapan-tatapan aneh dari para pengunjung tidak mampu menghentikan mereka. Hingga pada akhirnya, hanya pak satpamlah yang mampu menghentikan acara memburu mangsa di mall.
            “Pak, tolonglah pak, orang itu mengikuti kita dari tadi pak, makanya kami lari-larian kaya gini” kata Laela berceloteh mengatur nafas
            “Aduh, luntur dah alis gue” Indri yang keringatan memperhatikan alisnya di cermin yang selalu ia bawa kemana-mana.
            “Sibuk banar dah lu” jawab Asti ketus pada Indri.

            Akhirnya, pemuda itu ikut berhenti juga dengan mereka. Besar juga nyalinya datengin masalah. Wajah pucatnya terlihat letih mengatur nafas. Hampir saja dia tersungkur ke lantai dan mengotori lantai dengan darah segar dari hidungnya. Dengan sigap, Laela langsung mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan menyeka hidung pemuda itu. Mungkin dia sedang tidak enak badan.
            Mereka semua terlihat panik dan bingung, dia yang ngejar kok malah dia yang tepar. Darah segar belum berhenti mengalir, ia dongakkan kepalanya untuk menghentikan mimisannya. Para pengunjung juga memperhatikannya, antara jijik, kasian, aneh, dan prihatin. Semua itu terlihat jelas dari mata mereka yang langsung pergi meninggalkan lokasi kejadian saat pak satpam membubarkannya.
            “Maaf pak, saya kenal dengan dia” pemuda itu menunjuk Laela yang kebingungan.
            “Hah? Maaf… saya tidak mengenal anda” Laela masih memperhatikan wajah pemuda itu, seperti tidak asing dan terasa familiar.
            “Ari… Ari Candra” Ari memperhatikan wajah Laela lekat-lekat. “kamu Laeli kan?”
            “Ya bukanlah, dia itu… “ Laela langsung membekap mulut Indri yang nyerocos. Seperti ada sesuatu yang akan dilakukannya. Entah tidak ada yang mengerti maksud Laela yang seperti itu. Asti hanya diam dalam kebingungan. Dan pak satpam pamit mengundurkan diri karena masalahnya sudah terpecahkan.
            “Iya… aku Laeli, kamu…” entah apa maksud Laela berbohong seperti itu. Apa maksud kebohongannya? Mengapa dia mengaku menjadi saudaranya sendiri? “kamu beneran Ari?” matanya masih menatap lekat sambil mengembangkan senyum pada Ari yang tersenyum.
            Ari hanya mengangguk pasti dengan senyum kerinduan. Tangannya benar-benar sudah gatal pingin menyentuh tangan Laeli palsu dihadapannya. Tiba-tiba Laela melebarkan tamgannya dan memeluk Ari dengan erat. Benar-benar diluar dugaan. Ari hanya diam mematung kaget.
            “Apakah Laeli sudah berubah? Dulu dia tidak mau kalau aku memeluknya, mungkin karena dulu masih SD dan sekarang sudah kuliah” kata Ari dalam hati. Ia hanya tersenyum tanpa membalas pelukannya. Ia lepaskan Laeli palsu dihadapannya tanpa menyinggung perasaannya.
            Tiba-tiba teriakan ramai dari kejauhan mengagetkan mereka. teman-teman Ari datang dengan wajah sumringah. Nggak ada malunya tuh mereka abis teriak-teriak seperti di hutan, masih bisa cengengesan (senyum nggak jelas). Malahan mereka yang malu karena di datangin sama orang aneh nyasar di mall. Merekapun saling mengenalkan diri masing-masing. Laeli palsu dan Ari saling bertukar kontak HP untuk saling menghubungi. Merekapun makan siang bersama. Laela diantar pulang ke rumahnya oleh Ari.
            “Pantasan aku susah menemukan kalian, ternyata rumah kalian sekarang susah juga ya dicari” Ari memperhatikan sekeliling rumah Laela yang baru ini ia temui. “aku pulang dulu ya, salam buat mama dan Laela” sambil menyalakan stater motor. Dan ia pun melaju meninggalkan Laela yang tersenyum licik di depan rumahnya.
            Laela? Laela ada dihadapanmu Ari, Laeli yang asli ada di dalam rumah memperhatikan saudaranya diantar oleh seorang cowok  yang terlihat nggak asing dimatanya. Rasa sakit dimasa lampau terulang, ia seperti teringat sesuatu yang sudah lama ia lupakan. Tanpa mampu dibendung, air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia juga merasa konyol dan bingung. Kenapa bisa menangis? Apa yang menyebabkannya menangis. Ia sudah melupakan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya.
            Saat Laela memasuki rumah, ia dapati Laeli sedang menangis menghadap jendela. Pasti ia sudah melihatnya. Pikir Laela, ia pasti mengingat sesuatu.
            “Kamu kenapa nangis?” Laela yang melihatnya menangis telah menyimpulkan sesuatu dalam benak pikirannya. Pasti dia teringat sahabat kecilnya.
            “Nda tau nih, kenapa tiba-tiba menangis” ia menyeka sisa-sisa air matanya yang masih mengalir. “cieee… tadi diantar siapa?” tanya Laeli menggoda
            “Yaa… gebetan baru lah ahahhaa” Laela tertawa puas dan langsung meninggalkan Laeli sendirian yang masih berdiri di depan jendela.
Memperhatikan jalanan basah sehabis hujan menerpa damai kerinduan. Membuatnya mengingat almarhum ayahnya. Ayahnya meninggal kecelakaan saat menjemput Laeli di tempat les. Saat itu hujan deras menerpa. Laeli kecil sangat takut dengan petir. Ayahnya tahu akan hal itu, makanya ayahnya langsung menyusul meski hujan petir masih menggelegar di angkasa raya. Wallahualam, takdir Allah berkehendak lain, ayahnya kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Dan saat kejadian itu Laela benar-benar membenci kakaknya. Itulah hujan. Lebih sering memberikan kenangan. Kenangan baik dan buruk akan terus terngiang dalam setiap butiran hujan yang jatuh menghantam tanah kering.
###
Minggu pagi yang hangat, akan lebih hangat jika tanaman bunga dipupuk dengan cinta. Laeli dengan riang bersenandung merdu merapikan tanaman bunga di depan rumah. Hembusan angin yang lembut menarikan helaian rambut yang baru terbebaskan dari helm merah pengendara. Ari secara diam-diam memperhatikan Laeli yang sedang berkebun. Tapi dimatanya saat ini, Laeli adalah Laela dan Laela adalah Laeli. Pagi ini mereka akan berlibur ke air terjun bersama teman-teman yang lain. Ari menjemput Laeli palsu ke rumahnya. Saat Laela ke luar rumah, wajahnya terlihat panik karena Ari sedang memperhatikan Laeli. Apakah Ari akan sadar kalau dia adalah Laeli yang asli? Dengan sigap, Laela langsung mendatangi Ari dan bergeges meninggalkan rumah.
“Nggak pamit dulu?” tanya Ari setelah dipakaikan helm oleh Laela. Saat itu, mata Ari dan Laeli asli berpapasan dan saling pandang beberapa detik. Terlihat mata sendu Laeli yang terlihat kebingungan dan mencoba mengingat siapa cowok itu.
“Sudah nda usah, yuk pergi” Laela menaiki motor Ari, dan mereka melesat meninggalkan rumah.
Laeli hanya termenung mengingat wajah itu lagi. Wajah yang 12 tahun lalu terlupakan olehnya. Seketika jantungnya berdebar kencang dan ia pun menangis tiba-tiba.
###
“Kamu masih berantem dengan Laela?” tanya Ari ragu.
“Hmm… sudah jarang sih, karena kami juga jarang ketemu” jawab Laela singkat
“oh iya ya kalian kan beda kampus, tapi alhamdulillah deh kalau kalian sudah nggak berantem lagi, dengan gitu kan aku nggak perlu hapus air mata kamu lagi” mata jahilnya memperhatikan wajah Laela yang terlihat berbeda dari ingatannya, tangannya mencubit jahil pipi Laeli palsu dihadapannya.
Laela tak beraksi. Dia malah tidak berkutik, pikirannya melambung entah kemana lamunannya ia terbangkan. Jantungnya terasa berhenti mendengar ucapan terakhir Ari. Menangis? Itulah mengapa ia selalu sok tegar saat masih kecil, ternyata ia tumpahkan pada Ari.
“Laeli?” Ari mencubit kesal lengan Laela yang sedang melamun.
“Pulang yuk” perkataan yang tak terduga bagi Ari. Setelah sadar dari lamunan, Laela langsung minta pulang. Sontak Ari merasa kaget dan bingung.
“Lah kenapa?” tanyanya bingung. “terus mereka gimana?”
“Yaudah aku pulang sendiri aja” Laela langsung bangkit dari duduknya. Disusul Ari setelah pamit dengan teman-temannya.
Seperjalanan pulang ke rumah, mereka hanya diam. Ari mencoba mengajaknya ngobrol, tapi tetap tidak ada reaksi. Jadi sepanjang perjalanan, Ari hanya bercerita tentang masa kecil mereka. Masa kecil Ari dan Laeli, bukan Ari dan Laela. Laela hanya diam mendengarkan. Lalu apa yang harus dilakukannya? Laela terlanjur jatuh cinta pada Ari.
###
Sesampainya di rumah, Laela langsung pamit masuk ke dalam rumah, tapi Ari belum langsung meninggalkan rumah Laela. Ia masih memperhatikan punggung Laela yang pergi meninggalkannya dan kembarannya yang duduk-duduk di depan teras rumah menikmati suasana taman bunga. Mereka memang mirip, mirip sekali sampai sulit dibedakan.
Dari kejauhan, Ari melihat Laeli menarik tangan laela dengan paksa. Tapi di matanya Ari melihat Laeli menarik tangan Laela dengan kasar. Suatu perbedaan yang drastis. Dari dulu Laeli terkenal dengan ramah dan lembut sikapnya. Tapi sekarang telah berubah. Dan hati Ari juga telah berubah. Berubah mencintai Laeli yang ternyata adalah Laela. Pintu rumah sudah menutup, Ari pergi meninggalkan rumah mereka dan kembali pada teman-temannya.
“Kau pasti mengenalnya kan?” tanya Laela pada Laeli. Ia langsung mendudukkan dirinya di sofa.
“Siapa? Gebetanmu yang tadi?” tanyanya kebingungan
“Tidak usah menyangkal, aku tau kamu pasti mengingatnya”
Laeli masih terlihat bingung dengan pertanyaan Laela. Akhirnya Laela mengaku pada Laeli tentang perasaannya pada laki-laki itu. Sejauh obrolan mereka, Laeli belum sepenuhnya paham kalau dia mengenal jelas laki-laki itu. Dia hanya mengangguk dan mendengarkan.
“Dia adalah Ari Laeli, Ari Candra. Seseorang yang selama ini membuatmu sakit, seseorang yang selama ini membuatmu terus menangis, seseorang yang selama ini terus kamu sayangi, dan seseorang yang kini aku sukai” wajah Laela tertunduk lesu, dan wajah Laeli bertambah pucat. Ia tersungkur dan menangis. Dadanya sakit menerima ini semua. Tega sekali mereka merahasiakan ini, dan tega sekali Ari mengabaikannya setelah beberapa kali mampir ke rumah. Hampir pingsan Laeli dibuatnya. Laela memeluknya erat. “kumohon kak, izinkan aku, izinkan aku menyukainya, izinkan aku memilikinya seperti kau memilikinya, izinkan aku memeluk hatinya seperti ia memeluk hatimu. Kumohon kak, izinkan aku” pecah sudah tangisan mereka dalam dekapan erat. Berat hati melepaskan Ari. Karena hanya dia yang dirindui Laeli. Hanya dia yang ingin Laeli lihat. Hanya dia yang Laeli harapkan. Kini ia harus benar-benar melepaskannya. Laela adiknya telah memanggilnya kakak. Itu berarti suatu harapan besar telah diinginkan oleh adiknya. Dan sekali lagi ia lepaskan hatinya, ia relakan perasaan rindu yang telah terbungkus rapi sejak dahulu, perasaan marah yang ingin ia lepaskan pada Ari karena tidak ada kabar, ia melepaskan dengan berat hati.
Dengan berat hati, Laeli melepaskan sahabatnya. Dan ia langsung bangkit menuju kamar. Mengunci diri lagi seperti 12 tahun yang lalu. Menangis dan menyiksa hatinya lagi. Mamanya hanya diam di balik kamarnya. Ia menangis sendiri bersama kedua putrinya yang menangis dalam kesesakan. Mengapa ini terjadi pada putriku? pikirnya. Mengapa Laeli selalu mengalah pada adiknya? Adiknya yang dari dulu membenci kakaknya sendiri. Tapi kasih sayang memang bisa mengalahkan segalanya. Ia korbankan hatinya demi adiknya. Ia korbankan hartanya demi adiknya, meski tekadang Laela kurang menghargai usaha kakaknya.
###
Rajutan cinta terus terangkai manis dalam rangkaian do’a. Laela telah berubah. Berubah menjadi lebih baik dan mengenakan jilbab seperti kakaknya. Perkuliahan telah berlalu, mereka semua telah wisuda beberapa bulan yang lalu. Dan selama itu juga, Ari belum mengetahui kalau Laeli yang ia kenal adalah Laela. Dan selama Ari datang berkunjung, Laeli tidak mau berada di rumah, ia pergi tanpa pamit dan kabar. Sakit hati yang sungguh dahsyat dirasakan tidak akan sebanding dengan senyuman lepas adiknya untuk dirinya. Hal itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Beberapa bulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan dusta antara satu pihak. Pernikahan tanpa adanya kejujuran sebelum akad. Laela akan mengatakannya saat akad akan diucapkan. Resiko tetap resiko dan ia akan menanggung segalanya. Cinta memang bisa menutupi segalanya, tapi jodoh sudah teratur rapi oleh Sang Pencipta.
“Li, jalan yok. Kayanya kita nda pernah jalan berdua ya, yok ngemall” ajak Laela pada Laeli. Mereka telah akur sekarang, sudah damai dan saling pengertian.
Laeli pun mengangguk. Laela sebagai joki motor untuk hari ini. Malam hangat yang menyenangkan, namun bising oleh macetnya ibu kota. Bikin geregetan dan bikin kepanasan. Belum nyampe aja, make up udah luntur. Gimana udah nyampe sana.
“Sabar la” Laeli menepuk pundak Laela.
Akhirnya kemacetan telah sirna sedikit. Kendaraan mulai berjalan sediki demi sedikit. Pelan seperti siput dan akhirnya sampai dengan lunturnya maskara Laela. Laela mengomel di parkiran, sambil memperbaiki dandanannya lewat kaca spion. Laeli hanya melihatnya lucu dan menggemaskan.
Suasana malam ini terasa berbeda dari biasanya. Tawa hangat canda gurau selalu keluar dari obrolan mereka. hal seperti inilah yang dirindui Laeli. Mungkin inilah hikmah dari keikhlasannya. Laeli telah ikhlas melepaskan, karena hadiahNya sungguh sangat sempurna.
Malam semakin larut. Pulang dari mall, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Mereka masih mampir di taman terbuka yang sepi pengunjung. Tentu saja sepi, mana mungkin ada orang di taman malam-malam begini selain penjaga taman. Mereka terus bercerita hingga nggak ingat waktu telah menunjukkan pukul 23. 45. Sudah terlalu malam bagi gadis-gadis seperti mereka. mereka pun pulang.
Jalanan yang mereka lewati kali ini sepi sekali, bikin bulu kuduk merinding. Laela memacu kendaraannya lebih cepat lagi, melawan angina dan melawan dinginnya malam. Ketika tikungan mulai terlihat, suara deru mesin motor yang melaju kencang terdengar mengerikan dari balik tikungan. Laela lebih memacu kendaraannya lebih cepat. Meskipun Laeli menyuruhnya pelan-pelan, laela tetap tidak mau mendengarkan. Tepat setelah lampu rating dinyalakan, deru mesin semakin banyak terdengar. Motor-motor berkeliaran dengan sangat laju. Ketakutan yang sangat luar biasa memuncak sampai ke jari kaki. Badan Laela gemetaran nggak menentu, takut dan menyesal pulang kemalaman. Saat laela mulai membelokkan motornya, tepat di depan motonya. Motor besar melaju dengan sangat kencang ke arahnya. Saling memacu kecepatan, rem pun tidak mampu melepaskan musibah. Mereka bertabrakan dengan sangat kencang. 2 motor terseret jauh dari pengendaranya. Laela terlempar jauh ke tengah jalanan. Dan tabrakan beruntunpun terjadi. Salah satu teman si pembalap liar itu menabrak tubuh Laela yang terlempar ke tengah jalan. Laeli teriak histeris dari pinggir jalan. Darah mengalir deras dari pelipisnya, tapi Laela mengeluarkan banyak darah dari tubuhnya. Balapan liar diakhiri dengan paksa dan mereka mengantarkan Laela dan Laeli ke rumah sakit terdekat.
###
Tangis histeris pecah memenuhi koridor rumah sakit. Laela dan Laeli masuk ruang UGD dan masih ditangani. Laeli telah melewati masa kritisnya, namun 1 ginjalnya telah rusak terhantam batu, tapi Laela belum melewati masa itu. Laela mengalami pendarahan otak, dan hatinya hampir rusak dan tidak berfungsi. Kritis. Mereka membutuhkan donor secepatnya. Tapi musibah besar sulit dihindari. Tidak ada hati ataupun ginjal yang pas untuk mereka.
Semua terlihat bingung. Ari merasa marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa menjaga mereka? menjaga calon istrinya. Ia marah dan menghantamkan tinjunya pada dinding rumah sakit yang dingin. Akhirnya Ari dan sahabat-sahabatnya keluar mencari donor. Orang tua Ari dan para pembalap liar itu juga turut membantu sebagai rasa tanggung jawab mereka pada korban. Sebenarnya salah satu temannya juga terluka, tapi tidak separah Laela dan Laeli.
###
Beberapa jam kemudian mereka kembali dengan kabar gembira dari rumah sakit. Ada pendonor yang akan mendonorkan ginjalnya untuk Laeli. Alhamdulillah. Tapi hati Laela bagaimana? Sudah menjadi kehendak Allah, Laeli selamat dengan ginjal yang baru dan pas untuknya. Ia hanya perlu menjalankan operasi pemindahan organ dengan calon pendonor.
Sebelumnya, tidak ada yang tahu siapa pendonor ginjal itu. Sebelum operasinya selesai, mama Laeli tidak bisa memberitahukan kebenarannya. Karena itu adalah janjinya pada pendonor.
Beberapa jam kemudian, operasi berjalan dengan lancar. Laeli masih belum sadarkan diri setelah operasi. Dan sepucuk surat datang ke tangan Ari. Surat dari Laela. Ia membuka pelan lipatan demi lipatan sambil menyeka air matanya. Ia baca denga teliti apa yang tertulis di atas tinta yang ia goreskan. Matanya membelalak kaget, jantungnya berpacu kencang dalam deburan bingung yang belum bisa ia percaya. Ia baca berkali-kali, mungkin ada kesalahan di sana. Tidak… tidak ada. Isi surat ini telah jelas. Dan pengakuan surat ini membuat emosinya memuncak namun tak sanggup ia lontarkan. Marah. Tentu saja ia marah dengan kebohongan ini, sebuah kebohongan dengan kenyataan pahit yang selama ini ia terima. Lantas, siapakah orang yang ia cintai sekarang? Laela atau Laeli. Hatinya berdebar, namun titik air mata tidak dapat ia bendung. Tidak dapat ia tahan dalam kesakitan ini. Ari merasa sangat dibohongi oleh Laela. Tapi pada siapa ia harus marah? Pada siapa ia harus melampiaskannya. Kenyataan yang benar-benar menyesakkan.
Bagaimana dengan keadaan Laeli? Ia mulai sadarkan diri. Wajah pertama yang ia lihat adalah mamanya. Wajah yang selalu membuat hatinya kuat dan teduh. Lalu, wajah Ari. Wajah yang ia rindui, wajah yang hanya bisa ia lihat dari kejauhan, dan wajah yang akan pudar selamanya dalam kenangan. Air matanya menangis menatap Ari. Senyumnya masih sama seperti dulu, tapi secercah kesedihan terpancar kuat dari matanya. Laeli mencari wajah lain, Laela.
“Laela?” hanya itu yang sanggup ia ucapkan.
“Laela baik-baik saja sayang, besok kita temui Laela ya” mamanya berusaha kuat menahan tangis. Bahunya dirangkul kuat oleh mama Ari yang mencoba menguatkan.
###
“Kenapa kita kesini ma? Laela lagi berkunjung kesini?” tanyanya bingung. Mencoba berfikir positif, karena saat kecelakaan keadaan Laela yang paling parah daripada dirinya.
Mamanya hanya tersenyum. Sekali lagi, ia mencoba bertahan dan menguatkan diri tidak menangis di depan Laeli. Ia sangat khawatir dengan keadaannya saat ini.
Tanah pekuburan terus ia lewati tanpa banyak bertanya. Ditemani Ari yang sedari tadi juga bungkam tidak berkata apapun. Kursi roda pun berhenti, Laeli masih mencari saudaranya. Tepat saat ia membaca salah satu makam baru yang ada dihadapannya. Putri Laela Cyntyaningrum.
“LAELAAAAAA, MAMAAAAA KENAPAAAA” suara tangis Laeli pecah seketika. Kekuatan mamanya sudah tidak sanggup ditahan lagi, mamanya pun menangis melihatnya. Meratapi keadaan putrinya, menangis kehilangan putrinya, menangis untuk segala kegundahannya. Ia memeluk putrinya erat. Ari juga tidak sanggup menahan tangisnya. Ia hanya berdiri menatap makam sahabatnya.
Desak dada memenuhi relung jiwa Laeli. Sakit. Dadanya semakin sesak saat tahu bahwa ginjal yang ada ditubuhnya adalah ginjal saudaranya. Ia relakan dirinya demi menyelamatkan Laeli. Sebenarnya Laela juga ingin menuliskan surat pada Laeli, tapi jemarinya sudah tidak sanggup menorehkan tinta pada selembar kertas. Ia hanya menyampaikan salam maaf dan sayang kepada mamanya dan pada Laeli.
Ari teringat sesuatu. Sebelum pergi meninggalkan dunia ini, pada titik terlemah diri Laela, ia sempatkan menulis surat pada Ari. Permohonan maaf dan permohonan untuk menjaga kakaknya seutuhnya. Menjaga hati kakaknya yang selalu ia goreskan luka, menjaga kakaknya agar tidak menangis lagi, menjaga kakaknya untuk selalu seperti dahulu, lembut dan perhatian. Laela menginginkan semua itu tetap terjaga. Surat itu adalah surat pertama dari sisa tenaganya, itu berarti Laela sangat percaya dan yakin dengan kesanggupan Ari melakukannya. Dengan izin Allah, Ari akan melakukannya. Melakukannya karena cintaNya untuk mencintainya. Cinta yang sejak dahulu ia simpan selama berpisah, ia tuangkan dalam cawan kerinduan.
Selang menunggu kesembuhan Laeli, Ari mempersiapkan segalanya kebutuhan sebelum pernikahan. Laeli turut membantu dengan tenaganya yang belum cukup. Sahabat-sahabatnya juga turut membantu mempersiapkannya. Sebentar lagi, rindu mereka akan terobati, terobati dalam kehalalan yang suci.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar