Kamis, 10 Mei 2018

“Meriam Hati”


Oleh : Tri Yuni Adistya
“Kenapa sih mama selalu beliin baju kembar” wajahnya merengut kesal membanting baju baru yang baru beberapa menit dibelikan mamanya.
            “karena kalian kan kembar, mama suka kalau kalian juga pake baju kembar” dengan nada yang halus, mamanya masih mencoba sabar menahan batin.
            “Tapi Laela nda suka ma dikembarin sama Laeli” wajahnya masih merengut kesal tanpa mau menoleh sedikitpun
            “Panggil dia kakak, dia itu kakakmu” mamanya terus mengelus dada
            Tanpa menjawab lagi, Laela langsung pergi meninggalkan mamanya dan Laeli yang sedari tadi diam tanpa suara. Emosinya masih terus ia tahan. Laeli memang anak yang sabar. Ia pintar dan penurut, sehingga banyak teman yang senang bermain dengannya. Tapi ada 1 sahabat yang selalu hadir menemani gundah gelisah di hatinya. Segala sesak dada Ia tumpahkan padanya yang selalu setia berada disampingnya. Menjadi pengobat rindu, dan pengobat hati. Kejadian hari ini cukup menyakitkan bagi Laeli. Laeli pamit keluar menemui sahabatnya, dan mama mengizinkan.
            “Ari, sebenarnya apakah tindakan bagus selalu mengalah pada saudara kembar?” wajahnya tertunduk di bangku taman yang sesak dengan anak-anak bermain bola.
            “Kenapa? Kenapa selalu itu yang kamu tanyakan?” tangannya memegang pundak Laeli menenangkan.
            “Aku… aku bingung harus bagaimana, aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku… aku bingung dan aku menyayanginya” seketika tangisnya pecah ditengah kebisingan, wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Tidak mampu lagi membendung dan menahan itu semua.
            “Tenanglah Laeli, ada mamamu yang sayang padamu, dan ada aku yang… “ perkataanya berhenti tiba-tiba, lalu ia merangkulkan tangannya pada pundak Laeli. “ada aku yang akan selalu ada untukmu” ia melanjutkan kata-katanya dengan ragu.
            Seketika suasana menjadi sepi tanpa obrolan. Yang terdengar hanya suara teriakan anak-anak bermain bola dan tangisan Laeli yang belum terhenti. Ari masih menenangkannya dengan sabar. Seakan-akan ia juga ikut merasakan kepedihan yang terus menggores di hati Laeli. Belum kering luka dibuat adiknya, adiknya terus mencambuk pembuluh darah kakaknya yang selalu bungkam dan terlilit rantai kesabaran.
            Detik waktu terus berjalan tanpa memperhatikan keadaan. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Saatnya Laeli dan Ari pulang ke rumah. Ari mengantarkan Laeli sampai ke rumah dengan suasana hati yang sudah membaik setelah ditraktir ice cream strawberry kesukaan Laeli. Jarak rumah mereka hanya dibatasi oleh tiga rumah, makanya Ari sering berkunjung ke rumah dan sudah seperti anak sendiri dari keluarga Laeli.
###
            “Ari… Ariii…” Laeli sudah menegtuk pintu rumah Ari dari tadi, tapi tidak ada jawaban dari sahabatnya. “apa Ari masih tidur ya? Tapi ini kan sudah mau telat berangkat sekolah” laeli masih terus mengetuk pintu rumanya. Hingga akhirnya bu Ros, tetangga mereka keluar dari dalam rumah.
            “Keluarga Ari sudah pindah rumah Laeli, masa’ nda dikasi tau Ari?” kata bu Ros.
            “Pindah? tapi Ari nggak ngomong apa-apa ke Laeli kemaren” hatinya langsung merasa sakit karena tidak ada kabar sama sekali, ditambah lagi Ari nggak ada pamit ke Laeli. Air matanya sudah tidak bisa dibendung, ia menangis di depan pintu. Melihat Laeli menangis, bu Ros mengantarkan Laeli pulang ke rumahnya.
            Laeli langsung memasuki kamarnya, dan membanting pintu kencang. Mamanya mengerti dan paham betul apa yang dirasakannya. Ari sengaja tidak mau mengabarkan kepindahannya, dan mamanya mengerti maksudnya.
            Laeli menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Akhirnya ia bolos sekolah dan hanya mengurung di dalam kamar sampai sore hari. Saudara kembarnya sedikit khawatir dengan keadaannya, karena dia belum makan dari pagi. Meskipun ia benci dengan kakaknya, tapi terkadang ia juga merasakan sakit saat kakaknya juga sakit. Ia paham betul dengan sakitnya, tapi ia mengabaikannya.

Selasa, 08 Mei 2018

My Life Is My Destiny


Oleh : Tri Yuni Adistya
            Aku membaringkan tubuhku di atas kasur empuk kesayanganku, sambil mendengarkan music bervolume keras yang sudah ku setting sedemikian rupa untuk mengurangi kebisingan hati dan pikiranku. Setiap malam, bahkan setiap hari orang tuaku selalu bertengkar segala macam. Meskipun itu hanya hal sepele yang bisa diatasi dengan kepala dingin. Aku benar-benar nggak tahan dengan semua ini, ingin rasanya kutinggalkan rumah ini selama-lamanya, tapi aku mempunyai kakak. Kakak perempuan yang harus kujaga hati dan jiwanya. Suara bising ini sudah biasa bagiku, tapi saat kakakku berteriak kencang di dalam kamarnya, tepatnya di sebelah kamarku, hatiku terluka dan teriris oleh pisau tajam. Kencang sekali, seakan-akan tenggorokannya akan lepas dari tempatnya. Aku sangat sayang kakakku, meskipun kami hanya beda satu tahun, tapi tingkat kedewasaannya masih di bawahku. Inilah yang membuatku selalu ingin menjaga hatinya.
            Tiba-tiba suara pintu terbanting terdengar sangat jelas. Hati nuraniku langsung melonjak dan refleksnya aku langsung mengambil jaket dan kunci motorku. Dia pasti akan ikut balap liar lagi. Aku bergegas turun ke lantai satu, melewati kedua orang tuaku tanpa memperdulikan panggilan mereka.
            Tepat sekali, motor Alena sudah nggak ada di parkiran. Besar kemungkinan aku masih bisa mencegahnya, sebelum ia bertemu dengan teman-temannya yang berandalan.
***
            Benar dugaanku, 100 m lagi dia akan sampai di tempat tongkrongannya. Aku meningkatkan kecepatanku semaksimal mungkin.
            “KAK BRENTIIII” aku teriak tepat di belakangnya. Sekilas dia menoleh ke belakang lalu merapatkan motornya.
            “APA” dia berteriak dengan nada emosi. “Kamu ngapain ngikutin aku?”
            “Temenin aku nonton film” aku tersenyum seperti anak kecil yang memohon minta permen. Aku yakin dia pasti mau, karena nonton adalah hobinya juga.
            “Hmm, pacarmu tuh kemana?” suaranya mulai melemah. Nada-nada emosi sudah mulai berkurang, meskipun wajahnya masih terlihat sama seperti sebelumnya.
            “Kakak kan tau aku nggak punya pacar” senyumku tambah merekah. Nada manja adalah andalanku kepada kakakku. Karena nada manja inilah yang membuatnya luluh dan meringankan emosinya. Rasa sayang benar-benar kurasakan dari lubuk hatinya.
            “Baiklah” akhirnya kak Alena mengangguk dengan pasti.
            Kami pun berangkat dengan gaya seadanya, menggunakan motor masing-masing. Syukurlah, aku masih bisa mengendalikan amarahnya sementara.
***
            Sesampainya di bioskop. Kami jalan berdua, bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Dan akibatnya banyak pasang mata memperhatikan kami. Aku memang lebih tinggi dari kakakku, jadi nggak ada yang menyangka kalau kami adalah saudara. Hahaha menyenangkan sekali bisa menjaganya dari teman-teman berandalannya itu.
***
            Hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Kedua orang tua kami telah resmi bercerai selama 2 bulan. Dan selama 2 bulan itu, mamaku terus menangis dan menangis karena setiap pulang sekolah wajahku selalu terluka. Kak Alena sudah hampir seminggu nggak masuk sekolah. Peringatan dari sekolah sudah tidak dipedulikan lagi sama sekali. Hatinya selalu menjerit dan tangannya susah terkontrol selama di sekolah. Dia berkelahi dengan temannya di sekolah, karena emosinya sudah susah terkontrol. Begitu juga aku.
            Kami menjadi bahan bullyan satu sekolah, karena dalam jangka waktu seminggu gossip tentang ayah kami menyebar luas. Seorang pengusaha kaya terjerat hutang karena korupsi dan yang ku dengar, dia pemakai narkoba saat stress menghantam otak busuknya. Aku nggak habis pikir, makanya dia selalu seperti orang gila kalau sudah ada di rumah.
            Dan sekarang keluargaku benar-benar hancur. Ibuku selalu pulang malam karena banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan, kakakku tambah hancur seperti hatinya yang telah hancur, dan aku harus selalu berantem dan bolak-balik ruang BK gara-gara ucapan mereka yang terus menggerogoti pikiranku. Cobaan ini terasa nggak ada hentinya, selalu mengalir bagaikan air tenang yang berombak dahsyat hingga menimbulkan tsunami yang tak terlupakan.
***
            Ciit.. ciit.. ciit..
Alarm hapeku berbunyi, tanda sebuah kematian akan berlanjut lagi. sebuah neraka yang selalu mencabikku, akan mencabikku lagi semakin dalam. Udara dingin yang menusuk jantungku, seperti pembunuh yang juga ingin membunuhku secara perlahan tanpa bisa merasakan sebuah kehangatan.
Aku bangkit dari tidurku, dan mempersiapkan diri pergi ke sekolah neraka. Ya, sebuah sekolah yang hanya berisi orang-orang munafik yang sok peduli padahal terus menikamku tajam dari belakang. Perlahan mengoyak otak dan hatiku. Sakit.

Jumat, 08 Desember 2017

“BATU BERLIKU”
Oleh : Tri Yuni Adistya

            Tengah malam sudah terlewat. Tapi Riani belum juga terlihat melewati pagar rumah. Ayahnya terus mondar-mandir dengan khawatir dan geram. Geram dengan kebiasaan anaknya yang sering pulang larut malam. Beberapa menit kemudian, motor Riani mulai terlihat dan ayahnya menunggu dari dalam rumah.
 “Perempuan macam apa kamu pulang jam segini, mau tunggu ayahmu mati baru kamu berjilbab hah?”  nadanya sedikit meningkat tinggi. Tapi Riani tidak menggubrisnya dan langsung pergi menaiki tangga. Tangan ayahnya mengepal. Ia terduduk di bawah tangga, memukul dadanya dengan kencang. “apa salahku Gusti? Mengapa seperti ini? Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah” perlahan air matanya menetes. Ia tutupi wajahnya dengan tangannya yang mulai keriput. Mengingat anak bungsunya yang seperti itu, dan istrinya yang telah koma selama seminggu karena kecelakaan. Hatinya menjerit kencang di dalam persembunyian.
            Riani memasuki kamar birunya, menyetel musik dengan volume tinggi. Ayahnya masih menangis di bawah tangga. Mengelus dada, menahan emosi. Lalu ia bangkit, dan keluar rumah untuk mematikan saklar listrik. Taakk… Gelap. Seisi rumah telah diselimuti kegelapan malam tanpa listrik. Riani mulai menjerit bersama kegelapan dan ketakutan. Ayahnya sudah mulai lelah, dan membiarkan anaknya menjerit dalam dentingan jam yang terus bersyair.
***
            Matahari telah menyusup melewati celah-celah jendela. Riani terbangun dengan matanya yang bengkak setelah melewati gelapnya malam dengan jerit tangis. Sepi. Rumah itu membisu diantara konflik ayah dan anak. Tanpa sarapan dan tanpa obrolan, mereka langsung pergi menjalani rutinitas harian.
            Riani masih berdiam diri di dalam kelas sambil memainkan handphonenya.
 “Ri, ntar malam balapan yuk, bosen di rumah” ajak sahabatnya, Della.
“Hmm… boleh juga, aku juga lagi bosen di rumah”
“Oke, gue jemput jam 10 malam”
***
            Mereka berangkat tepat jam 10 malam. Motor-motor telah berjajar rapi di pinggir jalan yang sepi. Padahal balapan akan dimulai jam 11.30 malam.
            Waktu telah berputar dan menunjukkan pukul 11.35. Balap liar akan segera dimulai. Maka tibalah di penghujung malam disaat peluit tanda siap mulai berceloteh beberapa kali.
Motor-motor mulai melaju, Riani menarik gasnya seperti orang kesetanan. Fikri, salah satu sahabatnya mulai melesat melewati Riani. Riani tambah tidak sadarkan diri dengan menarik gas motornya lagi. Saat ini dia menduduki juara 1 untuk satu kali putaran. Senyumnya merekah bangga dengan kesombongan. Riani terus melaju dan tanpa disangka, lubang berukuran sedang terparkir bebas di tengah jalan. Riani mencoba menghindarinya, tetapi saat melenggang bebas ke kanan jalan, motor matic yang ia kenal berkendara dengan laju. Mata mereka saling bertabrakan. Riani sudah tidak bisa mengendalikan kecepatannya. Dan akhirnya, tabrakan pun tak bisa dielakkan. Riani terseret beberapa meter dari motornya, tapi motor yang ia tabrak, yang tak lain adalah ayahnya sendiri telah hancur dan terseret bersama tubuhnya.
Perlombaan pun berhenti. Riani tak sadarkan diri, banyak luka di sekujur tubuh karena saat itu pakaiannya sangat pendek. Tapi sayang, ayahnya mengalami pendarahan hebat di kepala. Helmnya terlepas saat terjatuh dan terseret tanpa pengaman. Baju putihnya berubah warna. Warna merah, amis dan anyir menyebar. Fikri yang tak jauh dari mereka langsung menelepon ambulan dari rumah sakit terdekat, yaitu rumah sakit dimana ibunya dirawat.
***
Matanya mengerjap kesilauan terpapar sinar lampu kamar rumah sakit. Riani mulai sadarkan diri. Tiba-tiba air matanya menetes melewati pelipis mata. Riani terisak, membangunkan Rama dan Fikri yang tertidur di sofa. Rama menghampirinya dengan senang dan khawatir.
“Kakak, dimana ayah?” suaranya serak dan air matanya belum bisa berhenti.
“Ayah… ayah..” Rama kebingungan  bagaimana menjelaskan kondisi ayahnya. “Ayah sudah tenang de” suaranya mengecil dari sebelumnya.
“Maksud kakak apa? Ayah baik-baik aja kan?” air matanya tambah deras mengalir.
            Rama membalikkan badannya dan pergi meninggalkan ruangan. Akhirnya Fikri mulai mendekat dan menjelaskan bahwa ayahnya telah tenang. Tenang dalam pembaringannya yang abadi. Maut telah memisahkan mereka saat ayahnya sudah benar-benar sekarat. Dan hati ayahnya akan selalu ada di hati Riani.
“Apa maksudmu Fik? Apa maksudmu? Ayahku memang selalu ada di hatiku meskipun aku adalah anak durhaka yang tidak pernah membuatnya bangga” sekujur tubuhnya bergetar mendengar penjelasan Fikri.
“Saat ini, hatimu adalah hati ayahmu. Kau hampir mati kemaren, hatimu rusak terhantam motor ayahmu saat kecelakaan. Dan ayahmu sedang sekarat saat itu, tapi masih tersadar. Akhirnya, ia mendonorkan hatinya padamu, karena ayahmu yakin kalau kamu akan berubah lebih baik”
            Riani tak sanggup berkata-kata lagi, tubuhnya bergetar dan ia memalingkan wajahnya dari Fikri. Fikri pun pergi meninggalkan ruangan. Membiarkannya sendirian dengan isakan tangis di keheningan malam.

Rabu, 17 April 2013


“Hukuman Termanis”
By : Tri Yuni Adistya
Pagi ini, mendung menghiasi suasana hatiku yang sedang galau. Berbagai macam pertanyaan terlontar keluar dari celah-celah otakku yang mulai berputar-putar bagaikan baling-baling yang terbang di angkasa bebas.
Mataku terus berputar bagaikan bola pingpong yang memantul-mantul di lantai ubin. Kedua tanganku menopang kepalaku yang terasa berat diangkat. Sesekali, aku melirik bunga mawar di atas mejaku cukup lama lalu kumainkan lagi bola mataku ke segala penjuru. Hampir setiap hari bunga mawar ini nangkring di bawah laci meja ku. Tetapi aku tidak pernah tau, siapa yang meletakkan bunga segar ini di bawah laci meja ku.
Ah, pusing sekali aku terus memikirkan orang itu. Jika ia meyukaiku kenapa harus sembunyi-sembunyi memberikan bunga mawar yang indah ini. Seperti biasanya juga, aku merontokkan kelopak - kelopaknya satu per satu. Seperti aku merontokkan pikiranku yang selalu penasaran dengan orang yang telah pengecut memberikan bunga mawar ini padaku.
“bunga mawar lagi?” tanya Monica begitu ia duduk di sampingku. Wajahnya fresh banget, model rambutnya juga berubah. Seperti biasanya, seminggu sekali ganti model rambut.
“iya nih, BeTe-in banget tau nggak, tiap hari ada mawar, tapi nggak tau pengirimnya” kataku lemes sambil terus mencabuti kelopak – kelopak bunga yang tak berdosa itu.
“ya sabar aja, paling nanti dianya muncul sendiri”
Aku tidak menjawabnya. Hanya senyum kecut yang aku sunggingkan di bibirku. Tanganku juga masih asyik mencabuti kelopak-kelopak bunga mawar tak bersalah. Kelopak bunga yang sudah terlepas dari tangkainya berhamburan di atas meja dan di lantai keramik yang warnanya sudah butek kecoklatan. Wanginya menari-nari di sekitar hidungku. Ada perasaan tenang di saat mencium wanginya yang menawan. Tapi pikiran ku tak pernah lepas dari si pengirim misterius.
Beberapa menit kemudian, suara singa lepas mengaum dari depan meja ku. Suaranya seperti memecahkan keramaian kelas XI IPS 1.
“kebiasaan deh loe, buat sampah di dalam kelas” bentakannya hampir melukai telingaku. “mau buat pemujaan roh nenek moyang loe, ngambur-ngambur mawar” lanjutnya sambil memainkan bola matanya melihat kelopak-kelopak mawar yang berserakan kemana-mana.
“ih apa-an sih loe teriak-teriak aja, suka-suka gue dong mau ngapain, nanti juga gue bersihin” suaraku tak kalah nyaringnya dari suaranya. Kalau suaranya tinggi suaraku akan lebih ku tinggikan hingga trdengar melengking seperti nenek lampir tertawa kemenangan.
Semula berawal dari bunga mawar, hingga menimbulkan pertengkaran adu mulut antara aku dan Gilang. Seperti biasa, setiap ada masalah kecil pasti dia selalu ikut campur hingga akhirnya menimbulkan masalah besar sampai di hadapan kepala sekolah. Dasar Gilang nyebelin, selalu hancurin hidup ku. Sudah 3 tahun aku sekelas dengannya, tetapi sekali pun tak pernah akrab dengannya.
Pertengkaran ku berakhir ketika kepala sekolah muncul di ambang pintu kelas ku. Sebenarnya ketua kelas ku yang bernama Radit sudah memperingatkan kami. Tapi sayang dia telat ngabarin, dan kami juga nggak dengar ucapannya karena terlalu asyik adu mulut. Aku dan Gilang langsung salah tingkah dan berpura-pura akrab.
“tidak usah pura-pura akrab, saya sudah dengar perkelahian kalian dari ruangan saya, cepat ikut ke ruangan saya” matanya kian melotot, pipiny seperti bergoyang saat ia bicara. Apalagi kumis tebalnya juga ikut bergoyang saat ia bicara. Bagaimana pun rupanya, beliau adalah kepala sekolah kami yang tersayang. “cepat..” pak kepsek langsung meninggalkan kelas kami, dan berjalan membawa kewibawaannya.
Sebelum meninggalkan kelas, aku dan Gilang saling bertatap mata. Menubrukkan kebencian yang terpendam sejak lama. Matanya tajam, aku membalasnya dengan lebih tajam lalu aku langsung meninggalkannya menuju ruang kepsek. Di juga mengikuti ku dari belakang. Seperjalanan kami, kami hanya diam membungkamkan mulut. Tak ada yang mengundang dan memancing emosi lagi. Walaupun mulut bungkam, tapi hati tak pernah bungkam. Saling mencela dari hati yang paling dalam. Yaelah, ada juga saling mencela lewat hati. Ada-ada saja kau ini.
Akhirnya kami langsung masuk ke ruang kepsek dan duduk ketika di persilahkan. Awalnya pak kepsek hanya diam dan memperhatikan kami satu persatu dengan tatapan tajam setajam pisau belati. Kami pun juga diam dan saling menundukkan kepala. Takut melihat kedua bola mata pak kepsek yang sedang garang. Tak ada suara, sepi, sunyi senyam di ruangan ini. Hanya ada suara detak jantung yang terdengar seperti dangdutan di padu dengan dentingan jam tua yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali.
“jadi seperti itu kelakuan kalian di kelas? Mau jadi preman di sekolah ini? Apa kalian tidak malu? Ha…” kata-kata pembukaan di keluarkan oleh pak kepsek dengan sangat tajam. “Mau jadi apa kalian nanti?” terlihat ada genangan air di pelupuk mata tua pak kepsek. Apa? Pak kepsek mau nangis? “saya ini sudah bosan menangani kalian terus, saya juga banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, tapi kalian selalu buat masalah dan menambah kepenatan di otak saya” lanjutnya dengan suara pelan.
Kami tidak berkata apa-apa. Kami hanya menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta. Mendengarkan segala macam ocehan pak kepsek yang terus berlarian keluar lewat telinga kanan. Hanya ada beberapa yang nyangkut disana.
Jiwa wanitaku keluar. Aku meneteskan air mata saat mendengar pak kepsek membawa-bawa orang tua ku yang sudah tiada. Hati ku terasa perih dan sakit mendengarnya. Karena aku tak pernah merasakan belaian orang tua kecuali orang tua yang mengasuh ku sejak bayi. Kabarnya aku di temukan di depan pagar kedua orang tua asuh ku. Sebersit rasa benci keluar dari hati ku. Aku benci, benci pada orang tua yang menelantarkan ku sewaktu bayi. Hingga harus kehujanan di tengah malam yang sunyi. Untungnya tangisan ku memecahkan suara hujan, hingga akhirnya orang tua asuh ku keluar dari rumah mewahnya.
Gilang juga masih tertunduk. Ketika mendengar suara isakan ku, ia melirikku dan langsung memberikan selembar tisu yang ada di kantung bajunya.
***
Akhirnya, selesai juga kepala sekolah berceloteh. Kami langsung meminta maaf beribu-ribu kali dan langsung keluar dari ruangannya.
Di setiap perjalanan menuju kelas, kami hanya diam membungkam. Aku masih merasakan mataku seperti bengkak sehabis menangis, jadi aku masih terus menundukkan kepala.
“kok loe nangis sih” Gilang langsung mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. suara halusnya membuyarkan isi lamunanku.
“bukan urusan loe” kepala ku masih menunduk, tetapi suara jutek ku tak pernah hilang.
“gue kan Cuma pingin tau”
“loe bisa diam nggak sih” aku sudah bosan mendengarnya berbicara. Ku angkat kepalaku dan menatapnya dengan tajam. Lalu aku berjalan setengah berlari menuju toilet sekolah untuk meredakan emosiku.
Gilang hanya bisa menatap kepergianku meninggalkannya. Lalu dia melangkahkan kaki lagi dengan perasaan nggak karuan.
***
Sepulang sekolah ini aku berencana jalan-jalan ditemani Monica, sahabatku. Sebenarnya dia nggak mau ikut alasan mau kursus bahasa Inggris, tapi karena ego ku, aku memaksanya ikut dan bolos dari kursusnya satu hari ini saja demi menghilangkan kepenatan dalam pikiran ku. Egois sekali aku ini, tapi akhirnya dia mau juga dengan senang hati. Katanya sih, dia juga pingin refreshing setelah sekian lama menatap tulisan-tulisan di dalam buku-buku yang tebal nian. Rasanya penat juga tuh mata.
Bangkitnya aku dan Monica dari kursi, ternyata mengundang sepasang mata liar yang sedari tadi memperhatikan tingkah ku.
“Eva, gue Cuma mau nanya kenapa tadi loe nangis pas di ruang kepsek?” sedari tadi sampai sekarang, mata Gilang membersitkan tanda tanya yang besar.
“apa urusan loe sih, tumben loe perhatian sama gue?” pertanyaannya ku sambut dengan dingin dan tatapan curiga dari kedua mata coklat ku.
“gue Cuma pingin tau aja kok”
“mending loe diam aja deh, nggak usah banyak berkicau lagi” tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung menarik tangan Monica dan pergi meninggalkannya.
“loe tadi nangis? Kenapa?” Monica yang mendengar pertanyaan Gilang tadi, bertanya ulang pada ku. Sebenarnya aku paling males kalau membicarakan waktu yang tidak mengenakkan. Tapi karena aku dan Monica sudah berjanji akan saling terbuka, akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.
Ehm, masalah yang baru ku pikirkan saat ini adalah kenapa si Gilang yang selalu cari masalah sama dia jadi tiba-tiba perhatian seperti itu. Ah mungkin akal bulus nya dia aja supaya bisa dekat sama aku. Aku nggak mau berteman dengan dia. Kenapa? Karena dia nyebelin dan bikin aku selalu berhadapan sama pak kepsek.
***

Jumat, 18 Januari 2013

Cerpen Lain..


Sahabat atau cinta?
Oleh : Tri yuni adistya
Pada hari itu, kantin SMU Mulawarman sedang rame-ramenya. Semua berteriak ketika melihat sesesok makhluk yang nggak ada bagus-bagusnya. Rambut panjangnya dia ikat seperti kuda yang bergoyang. Kaca matanya tebel bener. Apalagi dia selalu membawa-bawa buku yang bisa di bilang sih cukup tebel. Ngapain coba bawa-bawa buku ke mana-mana. Oh iya, mungkin buat mukul orang yang usil ngerjain dia. Kan enak tuh mukul pake buku yang tebal, biar dianya jadi pintar. ngarep.
hei Betty Lapea, mau kemana nih?” suara Deni teman sekelasnya, sumpah itu nyaring banget. Bikin malu aja nih orang. Malah manggilnya Betty Lapea lagi, jelas-jelas namanya Prince Lavega. Keren juga tuh nama, menurut orang tuanya sih itu diartikan menjadi putri dari lasvegas.
“bukan urusan kamu” Prince berkata dalam hati, dia menundukkan kepalanya lantaran malu di liatin satu sekolah. Prince berjalan lebih cepat.
“Hei Betty, sombong banget loe” kata Ipank dengan sinis. “kaya’ cantik-cantiknya aja loe, muka kaya’ begitu aja bangga” suaranya tambah sinis, tambah nyaring pula.
Tak lama, air matanya menetes. Prince sedih sekali. Dia berlari dengan kekuatan penuh, daripada tambah sakit hati di kata-katain. Mending pergi, ya kan?
Saat dia berlari, dia menabrak seseorang berbadan tinggi dan atletis. Badannya menjadi tak seimbang dan akhirnya dia jatuh terduduk. Gubraak.
“maaf ya, loe gak papa kan?” tanya orang itu dengan penuh perhatian. Sudah jelas orang yang di tabrak jatuh, masih aja nanya nggak papa. Aneh ya. Tangannya memegang punggung tangan Prince yang tergeletak di rumput hijau.
“nggak kok aku yang salah, udah lari-lari di tempat umum” suara Prince sedih sekali, lemas seperti tidak bertenaga. Kepalanya tertunduk kebawah. Entah melihat uang gopean atau nyembunyiin wajahnya yang selalu di olok satu sekolah. Maybe.
“nama loe siapa?” tanya orang itu.
“Betty Lapea, kamu pasti kenal kan?” dia menekankan nama Betty Lapea agar terdengar jelas. Wajahnya masih di tundukkan dengan raut sedih tak berdaya.
“oh Prince kan?” tebakan yang benar, 100 buat dia. Tumben ada cowok yang manggil nama asli Prince “gue Reihan, Prince” kata-katanya lembut sekali. Sepertinya tak ada tanda-tanda mau mengejek.
“Reihan siapa?” wajahnya diangkat dengan pelan. Air matanya telah hilang setelah di hapusnya dengan jari-jemarinya.
“masa’ loe nggak tau sih, gue kan temen sekelas loe”
“masa’ sih?” twengg teman sekelas sendiri nggak tau. Beh em parah. Sangking pendiamnya tuh, sampe’ nggak tau teman sekelas sendiri.
“yah elo gimana sih, yaudah deh whatever” suaranya jadi cuek bebek. “sini gue bantu” tangannya menjulur akan membantu Prince yang susah berdiri.
“thanks” tangannya menerima uluran tangan Rei, dengan senyum yang mengembang.
Tiba-tiba…
“Rei, ngapain sih loe pegangan tangan sama sih Betty” seorang cewek penggemar Rei berteriak seperti auman singa yang sedang marah. Lebay.
“apaan sih loe teriak-teriak kaya’ orang gila aja” Rei risih juga di teriakin kaya’ begitu. Bagai artis dalam sekolah.
“iuhhh, loe megang tangan tuh cewek aneh” matanya berubah menjadi jijik melihat Prince yang mlai tertunduk, padahal tangan mereka sudah di lepas. “jijik banget deh”
“heh jaga ya mulut bau loe itu, nggak pantes loe ngomong kaya’ gitu” Rei membela Prince bagai ksatria yang turun dari kayangan. Ceile.
“Rei, loe sakit ya?” tanganya hampir memegang kening Rei, tapi langsung di tepis Rei dengan kuat. Enak aja megang-megang, emang siapa loe.
“gue sehat kok, sehat banget” suara Rei sinis dan jutek banget. “udah deh loe pergi sana”
“Rei” matanya berkaca-kaca mendengar kalimat Rei barusan. Semoga Rei menariknya lagi.
“udah sana loe” Rei membuang muka sampai ke mesir. Jauhnye.
“huh” akhirnya si nenek gombel itu pergi juga.
“nggak usah di masukin hati ya” suaranya lembut banget.
“udah biasa kok, nggak papa” Prince mencoba tenang, setenang laut tanpa ombak. “thanks ya” senyumnya bo’, muanis euy. Ngalahin gula ya?.
“untuk apa?” wajah tampannya kebingungan seperti orang idiot. Ya memang sih, orangnya sedikit idiot. Tapi yang penting cakepnya dan kejeniusannya.
“untuk yang tadi, udah bantuin aku”
“gak masalah buat guegayanya so’ cool banget. “ke kelas bareng yuk” Rei memegang tangan Prince dengan tiba-tiba. So pasti Prince jadi gugup.
“eh ehm ehm, nggak usah” tuh kan gugup, Prince langsung membuang tangan Rei jauh-jauh.
“memang kenapa?”
“yaa, emang nya kamu nggak malu jalan sama sih Betty?”
“kenapa harus malu sih, kita semua di sini kan makhluk Allah juga”
“tapi tapi tapi…”
“udah yuk” Prince belum selesai ngomong, ekh malah langsung di samber seperti ikan narik pancingan. Tambah gugup tuh Princenya, kenapa ya? Oh iya tangannya di pegang, terus di tarik-tarik lagi. So pasti satu sekolah heboh sangat. Ihui macam di sinetron aje.
“eh ehm, jangan tarik-tarik tangan ku dong” Prince mencoba melepaskan tangannya dari pegangan Rei, tapi tetap aja Rei nggak mau ngelepasnya. “emang kamu nggak malu?”
“buat apa malu, biasa aja lagi”
“popularitas mu bisa menurun loh”
“nggak penting popularitas, di sekolah ini kita mencari ilmu bukan mencari kepopuleran” kata-kata yang sungguh bikak dan sederhana, tapi sangat menyentuh. “jadi loe nggak usah malu gitu kalau mau jalan-jalan kemana aja” Rei mulai menatap Prince secara dalam, membuat Prince menjadi salting (salah tingkah).
“trimakasih ya” wajah Prince tertunduk mendengar kata-katanya, padahal tangannya masih di pegang tuh. Nggak takut jatuh apa ya?.
“kok loe dari tadi trimakasih mulu sih, padahal gue nggak berbuat kebaikan apapun buat loe”
“ya, karena kamu udah nenangin aku hari ini” senyumnya manis sekali, tapi sayangnya jarang di perlihatkan.
***
Kelas nan sepi bagai kuburan tak berpenghuni, tiba-tiba rame bagai di pasar ikan. Semua bersiul lah, bergosip ria lah, pokoknya heboh deh. Apa yang terjadi ya? Seorang pangeran tampan berpegangan dengan sang putri entah dari planet mana, saya tak tau. Cuit-cuit.
“nggak usah di pedulikan Prince, mereka hanya sirik sama kita” suara Rei tetap santai, walau seisi sekolah pada heboh ngomongin dia bersama wanita entah dari planet mana. Sepertinya sih dari bumi. So pastilah, buat cerpennya aja di planet bumi. Kan gak mungkin banget aku buat cerita di planet mars.
“tapi aku malu banget Rei” Prince langsung melepas pegangan tangan Rei dengan paksa. Kenapa di paksa sih, pasti nggak mau di lepasin nih sama Rei nya. Ya kan? Rei Rei, unyu banget sih kamu
sorry” wajahnya menjadi malu karena dia baru nyadari tangannya menggandeng tangan Prince dari tadi.
“ehm” pasti deg-deg an tuh, wajahnya berubah jadi tomat peras tuh. Merah euy.
Mereka tidak memperdulikan suara ayam yang bergosip ria di belakang meja paaaling pojok. EGP, mending duduk aja deh. Menundukkan wajah melihat lantai coklat berpasir nan jorok, wajah Rei dan Prince berubah menjadi merah seketika.
Tiba-tiba….
“hei” seorang cowok ceking berwajah putih memukul punggung Rei dengan kekuatan penuh.
“paan sih loe, mukul-mukul nggak jelas” wajahnya diangkat dengan garang, muka tomatnya menghilang dan berubah warna seperti semula.
“loe ngapain sih tadi gandengan gitu sama makhluk aneh itu” mulutnya ia majukan dua senti menunjuk sosok Prince yang masih menundukkan kepalanya.
“emang napa?”
“ih, loe tau nggak sih” kata Roy so’ serius.
“enggak lah”
“ihs, kenapa sih gitu aja nggak tau, idiot banget sih loe”
“helloww, siapa yang idiot?”
“ya loe lah”
“enak aja loe, loe tuh ye belum ngasi tau gue apa-apa, bisa-bisanya ngomongin orang idiot, ngaca broo” Rei langsung menunjukkan ipad nya kepada Roy, maksudnya sih bukan pamer, Cuma pingin nunjukin cerminan wajah Roy di layar.
“oh iya ya, hehehe” Roy menggaruk-garuk kepalanya yang entah gatal atau tidak. “loe tuh ye, bakal jadi gosipan anak-anak satu sekolah, bahkan satu kota atau satu negara kalau perlu, satu benua satu samudra deh sekalian”
“lebay loe”
“oke-oke nggak hanya itu, dia bakal jadi kelinci percobaannya The Modish” suaranya pelan berbisik. Siapa tuh The Modish? The Modish tuh, geng sekolah Mulawarman yang pualing cantik-cantik, kaya-kaya juga, apalagi pakaiannya euy, kompak and selalu trendy. Semua cowok tergila-gila dengan mereka, ya kecuali Rei. Entah dari mana Rei melihat mereka hingga nggak ada rasa suka sedikitpun pada mereka. Malah rasa sebel yang ada.
“APA LOE BILANG, beneran tuh?” urat di mukanya mengencang dan matanya melotot hampir keluar dari posisinya. Dia kaget sekali. Membuat rambut sasukenya berdiri. Nggak ada nyambungnya ya? Garing.
“ya iya lah, si Sely tuh, ketua The Modish bakal hancur-hancuran ngerjain dia” tumben banget ya, ada yang perhatian lagi sama Prince. “nggak kasian loe sama dia?”
“yaaa, kasian sih” wajahnya tampak memikirkan sesuatu, sesekali Rei menggaruk kepalanya yang mungkin sih gatal. Memikirkan sesuatu yang tak bisa terbaca oleh mata telanjang.
“makanya loe jauhi dia” ternyata, itu niat Roy. Memisahkan sang pangeran dengan tuan putri yang entah dari planet mana.
“kan yang mulai duluan gue, ya berarti gue yang harus mengakhiri ini semua” kata Rei bersemangat, sampe uratnyanya keluar semua. Sungguh kata-kata yang bijak dan menyentuh.
“berarti?”
“gue bakal jagain dia sampe genk The Modish cape’, oke kan?” Gubrakkk. Nggak nyangka Rei bakal ngomong begitu, aneh banget dan tumben banget ada yang mau ngelindungi Prince. Ada angina pa nih?
“Rei-Rei, loe itu keren, gaul, jago kelai, jago basket, jago ngibul, jago acting, jago ngegombal kucing, pinter sih sedikit, tapi kok bisa loe suka sama dia yang seperti itu” suaranya berbisik pelan, takut ada kecoa yang nguping tuh. Apa pentingnya bagi kecoa? Garing.
“thanks banget atas pujian loe” Rei langsung percaya diri mendengar pujian dari Roy, ia langsung mengangkat kerah bajunya dengan gagah. “tapi, siapa bilang gue suka sama dia”
Tiba-tiba Prince berdiri, membuat percakapan dua sejoli itu berhenti bicara. Ia membetulkan posisi kaca matanyanya yang melorot sampai ke hidung. Ia melangkahkan kaki sedikit demi sedikit melewati Rei dan Roy yang diam memperhatikan kepergiannya, lalu keluar melewati ambang pintu yang sudah lumayan tua. Tapi ketuaannya tidak begitu terlihat karena sudah di cat ulang.
Oke, kembali ke obrolan Rei dan Roy.
“oya, siapa bilang gue suka sama dia? Ngelindur loe” Rei mengibaskan tangannya di depan wajah Roy seperti ada lalat yang ngerubunin badan bau Roy sehabis main basket.
“trus loe ngapain bela-belain dia”
“yaaa, nggak papa dong” bahunya di angkat tinggi, wajahnya sok diimutin bagai bayi yang abis bangun tidur. Huaaaa.
“nggak usah ngeles deh”
“eh gue lagi nggak ngeles tau, besok lusa baru ngeles metik”
“ampuuun” Roy menepuk jidatnya pelan, nggak nyangka ternyata temannya yang satu ini otaknya rada-rada. “ya udah cape’ ngomong ama loe, gue cabut ya, mau balik ke kelas” Roy berpamitan seperti polisi yang pamit sama komandannya. Menghentakkan kakinya di pijakan bumi dengan keras, membuat lantai berguncang. Lebay.
***
Di tengah malam yang bernyanyi, dengan bintang bertaburan. Bulan sabit tertawa dan jangkrik bernyanyi-nyanyi. Rei duduk di ranjang empuknya sambil memandangi sebuah foto yang nggak asing lagi kalau di perhatikan.
“Prince-Prince, loe itu sebenarnya cantik loh, tapi kenapa gaya loe jadul banget sih” Rei ngobrol dengan selembar foto tuh. Gila apa ya tuh anak. “rambut loe sedikit pirang, mata loe coklat, alis loe perfect, bibir loe apa lagi Prince-Prince, merah delima” Rei menunjuki bagian-bagian wajah Prince yang terlihat sempurna. “gue yakin, loe pasti belum di sentuh sedikitpun oleh kaum adam” kepalanya geleng-geleng nggak karuan, bahkan matanya hampir tidak berkedip. “apa loe mau ya jadi temen gue? Sahabat gue kalau perlu, ataupun pacar kalau bisa” tangannya membelai rambutnya yang coklat. Bibir tipisnya tersenyum memperhatikan foto itu. By The Way, dapat dari mana tuh foto? Sebuah rahasia yang harus diungkapkan.
***
            siang ini matahari tertawa memancarkan cahaya sucinya. Semua siswi-siswi nan cantik jelita berduduk-duduk ria di depan kelas masing-masing, mereka menyaksikan pertandingan basket yang nggak ada seru-serunya. Gimana nggak seru, dari jaman bahula mainnya gitu-gitu aja. Bosen. Etc, ada dua pemain yang nggak membosankan dari sekian banyak pemain basket di lapangan itu. Siapa hayoo? Namanya Reihan dan Roy, kenal kan? Anak band and anak basket.
“girls, liat deh si Rei, ya ampyun cute banget” kata Sely kepada genk nya, gayanya centil pisan euy. Memang sih dia cantik beut, tapi kelakuannya jelek gitu. Nyebelin banget tuh cewek.
“cute banget” timpal salah satu genk nya yang bernama Caca. Gayanya juga kecentilan tuh. Geng nya The Modish kan terkenal cantik-cantik n’ centil-centil, ngeliat cowok keren sedikit aja matanya langsung lari.
“eh punya gue tuh” kata Sely menggoda.
“iya ya punya loe, gue juga lagi punya incaran tuh” kata Jean sambil menunjuk Roy yang sedang main basket dengan semangatnya. Bajunya terlihat basah dengan keringat dan rambutnya berirama mengikuti gerak tubuh Roy yang berlari mengejar bola yang Cuma satu.
“wah lumayan juga tuh, itu temennya Rei kan?” tanya Keirani dengan mata centilnya. “eh tapi si Joy mau loe kemanain?” pacar Jean cukup banyak juga loh, mungkin seminggu bisa ganti pacar sebanyak 3 ato 4 kali.
“gue udah putus kok” katanya dengan santainya, Jean memainkan rambut panjangny sampai terbentuk bulatan-bulatan keriting.
“ya ampun, cowok sekeren dia loe putusin” samber Caca dengan kaget. “kenapa nggak buat gue aja sih” mata-mata harapan keluar dari mata Caca yang ungu soflen.
“ya ambil aja di rumahnya” Jean sembarangan banget sih bicaranya, kiranya cowok itu barang apa. Seenaknya ambil-ambil. Huh, itulah Kei si Playgirl cakep, kalo udah bosan ya di tinggal pergi.
“okelah” kata Caca sumringah, jempolnya ia angkat bersemangat.
“eh liat deh ada Betty tuh di empang” kata Sely memutuskan obrolan mereka, ia menunjuk empang sekolah yang berada dekat pohon jambu air.
“trus napa?” tanya Kei dengan kebingungan.
“kerjain yuk” Sely beranjak dari bangkunya dan berjalan menuju empang tempat Betty duduk-duduk melamunkan diri.
“caranya?” gile tuh, Kei teriak dengan nyaringnya. Mengusir para nyamuk yang sedari tadi sudah siap dengan sendok garpu uantuk menghisap darah. Weleh-weleh korban Tom and Jerry nih.
“liat aja” Sely menjentikkan jari lentiknya. Memainkan matanya yang tajam, dan memamerkan senyumnya yang licik.
Mereka berempat mendekat menuju empang dan celingukan mencari sesuatu yang diinginkan Sely. Apa tuh? Binatang menjijikan yang suka berada di empang. Atau besi panjang untuk memukul kepala Prince? Entahlah, sebab itu perbuatan criminal.
Setelah mereka menelusuri rumput dengan hati-hati tanpa di ketahui oleh Prince, akhirnya mereka menemukan kodok ABG yang lagi nangkring menikmati makan siangnya.
            “lempar Jean” perintah Sely dengan berbisik. Kasian tuh kodok sampe megap-megap gitu di genggem. Bakal mati tercekik dia.
            “tapi..”
            “udah cepeten, keburu ketahuan tuh”
            “ya udah” Jean melemparnya dengan kekuatan seadanya. Plukk. Kodok itu nyangkut pas di atas kepala Prince. Setelah merasakan ada gerakan di atas kepalanya, Prince meraba kepalanya dengan pelan-pelan sekali. Lalu apa yang terjadi….
Ternyata prince malah kegirangan mendapatkan seekor kodok ABG yang lucu menurutnya nangkring di atas kepalanya.
Nggak nyangka, ternyata Prince seneng banget sama kodok. Idiih, jijay gue.
            “dari tadi di tungguin nggak dateng-dateng, eh malah datang lewat kepala ku, nggak sopan kamu” Prince ngomel-ngomel tuh sama si kodok. Seandainya tuh kodok bisa bicara, mungkin dia bakal adu mulut sama Prince.
            “ih emank anak aneh, kodok di ajak bicara lagi” kata Jean dari balik semak-semak.
            “eeeuuuuhhh” Sely memandangnya jijik, di balik semak-semak itu wajah ke empat gengnya berubah menjadi kesal karena rencananya gagal total. “ya udah balik yuk, ntar kulit ku bentol-bentol di gigit nyamuk” Sely mengelus tangan putihnya dengan pelan.
            Mereka semua berbalik badan sambil berjongkok, takut ketahuan tuh. Mengendap-endap seperti maling ayam.
Tiba-tiba…..
            “AAAAAAAAAA” semua berteriak membuat seisi sekolah menengok ke asal suara mengerikan itu.
“ada apa sih” Rei menghentikan permainan basketnya dan berlari menuju asal suara. Rei juga terkejut melihat Prince yang sudah lebih awal berada di tempat kejadian. “Prince ngapain disini?” tanyanya lembut hingga melupakan kejadian teriakan nenek-nenek lampir itu.
“aku-aku lagi..” belum selesai bicara, Sely sudah memotong kata-katanya dari dasar lubang.
“dia tadi dorong kami Rei, sampe kami jatuh begini” Sely menuduh Prince dengan mata melotot seperti setan bertanduk. Jelas-jelas dia jatuh sendiri, bisa-bisanya nuduh sembarangan.
“iya Rei dia tadi dorong kami sampe jatuh begini, malah lutut ku luka lagi” Kei menambahkan, membuat hati Rei menjadi bingung.
“apa iya seperti itu, tapi rasanya nggak mungkin banget sih” Rei berkata dalam hati, memikirkan apa yang harus di lakukannya. “Prince anak yang terkenal pendiam, tapi baik hati, apa mungkin ya?” Rei bingung tujuh keliling, dia menggaruk kepalanya yang sedikit gatal. Mungkin kutu atau ketombe. Iihh jorok.
“PRINCE” seorang perempuan meneriaki nama Prince dengan nyaringnya. Dia berlari sambil ngos-ngosan mendekati empang yang sedang ramai. “loh ada apa ini kok ramai sekali” dia celingukan melihat banyak orang yang mengelilingi Prince dan keempat genk The Modish. “udah dapat kodoknya Prince” mata keempat genk The Modish menjadi salah tingkah. Hayoo kalian.
“udah nih” Prince mengangkat kodok ABG itu di depan mata Nela.
“ya udah yuk pergi” Nela menarik Prince dari gerombolan manusia yang bau apek, tanpa menghiraukan seribu mata memandanginya.
“eh tunggu-tunggu, ini sebenarnya ada apa sih?” Rei mencegat mereka berdua pergi dari gerombolan manusia.
“ada apanya sih, tadi gue nyuruh Prince nyari kodok disini” Nela menjelaskan dengan tampang cuek.
“buat apa?”
“eh loe lupa ya, bentar lagi ada praktek bedah hewan” Nela menunjuk Rei dengan tatapan garang. “ya susah sih jadi cowok popular, ada praktek aja sampai lupa” sindiran yang menyucuk. Matanya terlihat sinis, sepertinya Nela nggak suka sama Rei. Entah kenapa, padahal Rei tuh teman yang baik di kelasnya.
“ya udah yuk” mereka berdua beranjak pergi, tidak menghiraukan berbagai mata memandang. Dan keempat genk The Modish itu mengendap-endap akan melarikan diri.
“hei mau kemana kalian” Rei mencegat mereka dengan tatapan liar. “tega ya kalian sama dia, padahal dia nggak pernah berbuat salah sama kalian” mata cinanya menyipit hampir tak terlihat.Tiik, Rei menjentikkan jarinya.
“lempar mereka dengan daun kering ini sebagai balasan telah menfitnah teman sendiri” perintah Rei kepada genk nya dan semua orang yang masih ada di sana.
“bush-bush-bush” Mereka di lempari daun kering sampai bajunya kotor, bahkan dari daun itu ada ulatnya loh. Ya di lempar aja, rasain.
***