“BATU BERLIKU”
Oleh : Tri Yuni Adistya
Tengah malam sudah terlewat. Tapi
Riani belum juga terlihat melewati pagar rumah. Ayahnya terus mondar-mandir
dengan khawatir dan geram. Geram dengan kebiasaan anaknya yang sering pulang larut
malam. Beberapa menit kemudian, motor Riani mulai terlihat dan ayahnya menunggu
dari dalam rumah.
“Perempuan macam apa kamu pulang jam segini,
mau tunggu ayahmu mati baru kamu berjilbab hah?” nadanya sedikit meningkat tinggi. Tapi Riani
tidak menggubrisnya dan langsung pergi menaiki tangga. Tangan ayahnya mengepal.
Ia terduduk di bawah tangga, memukul dadanya dengan kencang. “apa salahku Gusti?
Mengapa seperti ini? Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah” perlahan air
matanya menetes. Ia tutupi wajahnya dengan tangannya yang mulai keriput. Mengingat
anak bungsunya yang seperti itu, dan istrinya yang telah koma selama seminggu karena
kecelakaan. Hatinya menjerit kencang di dalam persembunyian.
Riani memasuki kamar birunya, menyetel
musik dengan volume tinggi. Ayahnya masih menangis di bawah tangga. Mengelus
dada, menahan emosi. Lalu ia bangkit, dan keluar rumah untuk mematikan saklar listrik.
Taakk… Gelap. Seisi rumah telah diselimuti kegelapan malam tanpa listrik. Riani
mulai menjerit bersama kegelapan dan ketakutan. Ayahnya sudah mulai lelah, dan membiarkan
anaknya menjerit dalam dentingan jam yang terus bersyair.
***
Matahari telah menyusup melewati celah-celah
jendela. Riani terbangun dengan matanya yang bengkak setelah melewati gelapnya malam
dengan jerit tangis. Sepi. Rumah itu membisu diantara konflik ayah dan anak. Tanpa
sarapan dan tanpa obrolan, mereka langsung pergi menjalani rutinitas harian.
Riani masih berdiam diri di dalam
kelas sambil memainkan handphonenya.
“Ri, ntar malam balapan yuk, bosen di rumah”
ajak sahabatnya, Della.
“Hmm…
boleh juga, aku juga lagi bosen di rumah”
“Oke,
gue jemput jam 10 malam”
***
Mereka berangkat tepat jam 10 malam.
Motor-motor telah berjajar rapi di pinggir jalan yang sepi. Padahal balapan akan
dimulai jam 11.30 malam.
Waktu telah berputar dan menunjukkan
pukul 11.35. Balap liar akan segera dimulai. Maka tibalah di penghujung malam disaat
peluit tanda siap mulai berceloteh beberapa kali.
Motor-motor
mulai melaju, Riani menarik gasnya seperti orang kesetanan. Fikri, salah satu
sahabatnya mulai melesat melewati Riani. Riani tambah tidak sadarkan diri
dengan menarik gas motornya lagi. Saat ini dia menduduki juara 1 untuk satu
kali putaran. Senyumnya merekah bangga dengan kesombongan. Riani terus melaju
dan tanpa disangka, lubang berukuran sedang terparkir bebas di tengah jalan.
Riani mencoba menghindarinya, tetapi saat melenggang bebas ke kanan jalan,
motor matic yang ia kenal berkendara dengan laju. Mata mereka saling bertabrakan.
Riani sudah tidak bisa mengendalikan kecepatannya. Dan akhirnya, tabrakan pun
tak bisa dielakkan. Riani terseret beberapa meter dari motornya, tapi motor
yang ia tabrak, yang tak lain adalah ayahnya sendiri telah hancur dan terseret
bersama tubuhnya.
Perlombaan
pun berhenti. Riani tak sadarkan diri, banyak luka di sekujur tubuh karena saat
itu pakaiannya sangat pendek. Tapi sayang, ayahnya mengalami pendarahan hebat
di kepala. Helmnya terlepas saat terjatuh dan terseret tanpa pengaman. Baju
putihnya berubah warna. Warna merah, amis dan anyir menyebar. Fikri yang tak
jauh dari mereka langsung menelepon ambulan dari rumah sakit terdekat, yaitu
rumah sakit dimana ibunya dirawat.
***
Matanya
mengerjap kesilauan terpapar sinar lampu kamar rumah sakit. Riani mulai sadarkan
diri. Tiba-tiba air matanya menetes melewati pelipis mata. Riani terisak,
membangunkan Rama dan Fikri yang tertidur di sofa. Rama menghampirinya dengan
senang dan khawatir.
“Kakak,
dimana ayah?” suaranya serak dan air matanya belum bisa berhenti.
“Ayah…
ayah..” Rama kebingungan bagaimana menjelaskan
kondisi ayahnya. “Ayah sudah tenang de” suaranya mengecil dari sebelumnya.
“Maksud
kakak apa? Ayah baik-baik aja kan?” air matanya tambah deras mengalir.
Rama membalikkan badannya dan pergi
meninggalkan ruangan. Akhirnya Fikri mulai mendekat dan menjelaskan bahwa
ayahnya telah tenang. Tenang dalam pembaringannya yang abadi. Maut telah
memisahkan mereka saat ayahnya sudah benar-benar sekarat. Dan hati ayahnya akan
selalu ada di hati Riani.
“Apa
maksudmu Fik? Apa maksudmu? Ayahku memang selalu ada di hatiku meskipun aku adalah
anak durhaka yang tidak pernah membuatnya bangga” sekujur tubuhnya bergetar
mendengar penjelasan Fikri.
“Saat
ini, hatimu adalah hati ayahmu. Kau hampir mati kemaren, hatimu rusak terhantam
motor ayahmu saat kecelakaan. Dan ayahmu sedang sekarat saat itu, tapi masih
tersadar. Akhirnya, ia mendonorkan hatinya padamu, karena ayahmu yakin kalau
kamu akan berubah lebih baik”
Riani tak sanggup berkata-kata lagi,
tubuhnya bergetar dan ia memalingkan wajahnya dari Fikri. Fikri pun pergi
meninggalkan ruangan. Membiarkannya sendirian dengan isakan tangis di
keheningan malam.
***
Riani sudah diperbolehkan pulang
setelah dirawat inap selama seminggu lebih. Ia mulai memperbaiki dirinya secara
keseluruhan. Ia mulai rajin membaca buku-buku islami, mengahafal Al-Qur’an, sholat
lima waktu, ibadah sunnah, dan berhijab. Ia tidak melakukannya sendirian. Ada
ibunya yang membimbing. Keagungan Allah memang tak pernah terduga, ibunya sadar
setelah Riani juga tersadar. Mereka pun sembuh secara bersamaan. Subhanallah.
Kakaknya sudah kembali ke luar kota melanjutkan studinya setelah cuti selama
seminggu lebih.
Setiap hari Della mengunjungi
rumahnya, Alhamdulillah ia sudah mengenakan hijab dan perlahan mengalami
perubahan setelah ajakan dari Riani. Fikri sudah tidak lagi mengunjunginya, ia
mulai belajar memperbaiki diri dan pola hidupnya yang suka mabuk menjadi lebih
terarah.
***
Ilmu agama Riani semakin baik,
hijabnya mulai semakin panjang. Dan ia memutuskan untuk berniqab. Banyak
pertentangan dari orang-orang terdekatnya. Ibunya sangat melarang. Kakaknya
kembali pulang karena ia pikir Riani sudah berada di jalur yang berbeda. Della
juga menentangnya. Dan Fikri hanya diam tak berkutit.
Jalan hijrahnya semakin berat.
Pertentangan itu melukiskan jarak antara ibu dan kakaknya. Della sudah jarang
menemuinya, dan Fikri sudah tidak lagi menghubunginya.
“Ibu
dan kakakmu senang kamu berhijab, tapi tolong jangan berniqab. Kamu masih muda,
pergaulanmu akan terbatas, dan bagaimana kalau nggak ada yang melirikmu?”
ibunya membuka mulut di tengah makan siang bersama.
“Kamu
tuh kaya teroris aja sih, jalan sendirian dengan pakaianmu yang seperti itu.
Kamu kan tau berita-berita sekarang lagi panas-panasnya tentang ISIS, coba kamu
pikir, Della sudah nggak kesini lagi kan, dan Fikri sudah mulai lost contact” giliran kakaknya yang
angkat bicara.
“Jodoh
itu sudah ada yang ngatur kok bu, dan Riani masih bisa bergaul dengan yang lain
kok, masih bisa jalan-jalan kesana-kemari, dan banyak kok orang bercadar di
jalan-jalan kak, buktinya mereka nggak ditangkap sampai sekarang kan? Tolonglah
bu, tolonglah kak, bantu Riani dengan jalan ini” matanya mulai memerah menahan
tangis.
“Okelah,
kuterima pembelaanmu” Rama menutup matanya sejenak, dan menarik nafas dalam.
“Kita izinkan kamu berniqab, tapi setelah kamu mempunyai suami”
Riani menghentikan makannya dan
langsung pergi menuju kamar. Riani mulai down.
Imannya mulai menurun. Jalan dakwah ini sulit, tapi ia nggak mau membuat jarak
dengan ibu dan kakaknya, itu akan semakin menambah dosa keduanya. Air matanya
mulai meleleh. Suara tangisan dari kamar Riani terdengar sampai luar kamar dan membuat
hati ibunya teriris. “Maafkan ibu nak” batin ibunya setiap hari.
***
Riani duduk seorang diri di depan
kelas. Ia termenung memikirkan keputusan kakak dan ibunya. Kini ia sudah tak
berniqab lagi dan memutuskan akan menuruti perkataan kakak dan ibunya.
Beberapa detik kemudian, Fikri
datang menghampiri, ia duduk jauh di sebelah Riani termenung. Mereka masih
terdiam, canggung dan bingung harus berkata apa.
“Terbang
kemana niqabmu?” Matanya sedikit melirik pada Riani yang masih tertunduk
memperhatikan kakinya yang berayun.
“Entahlah”
wajahnya masih datar. Ingin sekali ia berniqab tapi bagaimana caranya sedangkan
jodoh saja belum terlihat. “Fikri” Riani tersenyum dan menoleh pada Fikri.
“Iya
kenapa?” Fikri menoleh balik.
“Aku
yakin kamu pasti akan mengabulkan permintaanku” ia langsung memalingkan wajahnya
lagi. Fikri masih diam dan menunggu kelanjutannya. “Maukah kau menikahiku?”
pipinya memerah dan Jantungnya berdegup kencang.
Mata Fikri melotot kaget. Berulang
kali ia bertanya, benarkah? Riani hanya mengangguk dan menjelaskannya. Semoga
Fikri dapat memahami segala keegoisannya.
“I’ll marry you, Riani. Akan kuajak orang
tuaku ke rumahmu besok lusa. Persiapkan dirimu”. Ucapannya terhenti “I love you because Allah, Riani, I’ll save you, and I’ll make you pleasant with your decisions. InsyaAllah Riani,
ini adalah jalan Allah dalam mengikat hati ini dan semoga Allah menjaga
keimanan kita” Fikri tersenyum, dan meninggalkan Riani yang ikut tersenyum.
Hati mereka saling menjerit, menjerit bahagia. Semoga ikatan nanti akan menyempurnakan
keislaman mereka. The end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar