Kamis, 10 Mei 2018

“Meriam Hati”


Oleh : Tri Yuni Adistya
“Kenapa sih mama selalu beliin baju kembar” wajahnya merengut kesal membanting baju baru yang baru beberapa menit dibelikan mamanya.
            “karena kalian kan kembar, mama suka kalau kalian juga pake baju kembar” dengan nada yang halus, mamanya masih mencoba sabar menahan batin.
            “Tapi Laela nda suka ma dikembarin sama Laeli” wajahnya masih merengut kesal tanpa mau menoleh sedikitpun
            “Panggil dia kakak, dia itu kakakmu” mamanya terus mengelus dada
            Tanpa menjawab lagi, Laela langsung pergi meninggalkan mamanya dan Laeli yang sedari tadi diam tanpa suara. Emosinya masih terus ia tahan. Laeli memang anak yang sabar. Ia pintar dan penurut, sehingga banyak teman yang senang bermain dengannya. Tapi ada 1 sahabat yang selalu hadir menemani gundah gelisah di hatinya. Segala sesak dada Ia tumpahkan padanya yang selalu setia berada disampingnya. Menjadi pengobat rindu, dan pengobat hati. Kejadian hari ini cukup menyakitkan bagi Laeli. Laeli pamit keluar menemui sahabatnya, dan mama mengizinkan.
            “Ari, sebenarnya apakah tindakan bagus selalu mengalah pada saudara kembar?” wajahnya tertunduk di bangku taman yang sesak dengan anak-anak bermain bola.
            “Kenapa? Kenapa selalu itu yang kamu tanyakan?” tangannya memegang pundak Laeli menenangkan.
            “Aku… aku bingung harus bagaimana, aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku… aku bingung dan aku menyayanginya” seketika tangisnya pecah ditengah kebisingan, wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Tidak mampu lagi membendung dan menahan itu semua.
            “Tenanglah Laeli, ada mamamu yang sayang padamu, dan ada aku yang… “ perkataanya berhenti tiba-tiba, lalu ia merangkulkan tangannya pada pundak Laeli. “ada aku yang akan selalu ada untukmu” ia melanjutkan kata-katanya dengan ragu.
            Seketika suasana menjadi sepi tanpa obrolan. Yang terdengar hanya suara teriakan anak-anak bermain bola dan tangisan Laeli yang belum terhenti. Ari masih menenangkannya dengan sabar. Seakan-akan ia juga ikut merasakan kepedihan yang terus menggores di hati Laeli. Belum kering luka dibuat adiknya, adiknya terus mencambuk pembuluh darah kakaknya yang selalu bungkam dan terlilit rantai kesabaran.
            Detik waktu terus berjalan tanpa memperhatikan keadaan. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Saatnya Laeli dan Ari pulang ke rumah. Ari mengantarkan Laeli sampai ke rumah dengan suasana hati yang sudah membaik setelah ditraktir ice cream strawberry kesukaan Laeli. Jarak rumah mereka hanya dibatasi oleh tiga rumah, makanya Ari sering berkunjung ke rumah dan sudah seperti anak sendiri dari keluarga Laeli.
###
            “Ari… Ariii…” Laeli sudah menegtuk pintu rumah Ari dari tadi, tapi tidak ada jawaban dari sahabatnya. “apa Ari masih tidur ya? Tapi ini kan sudah mau telat berangkat sekolah” laeli masih terus mengetuk pintu rumanya. Hingga akhirnya bu Ros, tetangga mereka keluar dari dalam rumah.
            “Keluarga Ari sudah pindah rumah Laeli, masa’ nda dikasi tau Ari?” kata bu Ros.
            “Pindah? tapi Ari nggak ngomong apa-apa ke Laeli kemaren” hatinya langsung merasa sakit karena tidak ada kabar sama sekali, ditambah lagi Ari nggak ada pamit ke Laeli. Air matanya sudah tidak bisa dibendung, ia menangis di depan pintu. Melihat Laeli menangis, bu Ros mengantarkan Laeli pulang ke rumahnya.
            Laeli langsung memasuki kamarnya, dan membanting pintu kencang. Mamanya mengerti dan paham betul apa yang dirasakannya. Ari sengaja tidak mau mengabarkan kepindahannya, dan mamanya mengerti maksudnya.
            Laeli menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Akhirnya ia bolos sekolah dan hanya mengurung di dalam kamar sampai sore hari. Saudara kembarnya sedikit khawatir dengan keadaannya, karena dia belum makan dari pagi. Meskipun ia benci dengan kakaknya, tapi terkadang ia juga merasakan sakit saat kakaknya juga sakit. Ia paham betul dengan sakitnya, tapi ia mengabaikannya.

Selasa, 08 Mei 2018

My Life Is My Destiny


Oleh : Tri Yuni Adistya
            Aku membaringkan tubuhku di atas kasur empuk kesayanganku, sambil mendengarkan music bervolume keras yang sudah ku setting sedemikian rupa untuk mengurangi kebisingan hati dan pikiranku. Setiap malam, bahkan setiap hari orang tuaku selalu bertengkar segala macam. Meskipun itu hanya hal sepele yang bisa diatasi dengan kepala dingin. Aku benar-benar nggak tahan dengan semua ini, ingin rasanya kutinggalkan rumah ini selama-lamanya, tapi aku mempunyai kakak. Kakak perempuan yang harus kujaga hati dan jiwanya. Suara bising ini sudah biasa bagiku, tapi saat kakakku berteriak kencang di dalam kamarnya, tepatnya di sebelah kamarku, hatiku terluka dan teriris oleh pisau tajam. Kencang sekali, seakan-akan tenggorokannya akan lepas dari tempatnya. Aku sangat sayang kakakku, meskipun kami hanya beda satu tahun, tapi tingkat kedewasaannya masih di bawahku. Inilah yang membuatku selalu ingin menjaga hatinya.
            Tiba-tiba suara pintu terbanting terdengar sangat jelas. Hati nuraniku langsung melonjak dan refleksnya aku langsung mengambil jaket dan kunci motorku. Dia pasti akan ikut balap liar lagi. Aku bergegas turun ke lantai satu, melewati kedua orang tuaku tanpa memperdulikan panggilan mereka.
            Tepat sekali, motor Alena sudah nggak ada di parkiran. Besar kemungkinan aku masih bisa mencegahnya, sebelum ia bertemu dengan teman-temannya yang berandalan.
***
            Benar dugaanku, 100 m lagi dia akan sampai di tempat tongkrongannya. Aku meningkatkan kecepatanku semaksimal mungkin.
            “KAK BRENTIIII” aku teriak tepat di belakangnya. Sekilas dia menoleh ke belakang lalu merapatkan motornya.
            “APA” dia berteriak dengan nada emosi. “Kamu ngapain ngikutin aku?”
            “Temenin aku nonton film” aku tersenyum seperti anak kecil yang memohon minta permen. Aku yakin dia pasti mau, karena nonton adalah hobinya juga.
            “Hmm, pacarmu tuh kemana?” suaranya mulai melemah. Nada-nada emosi sudah mulai berkurang, meskipun wajahnya masih terlihat sama seperti sebelumnya.
            “Kakak kan tau aku nggak punya pacar” senyumku tambah merekah. Nada manja adalah andalanku kepada kakakku. Karena nada manja inilah yang membuatnya luluh dan meringankan emosinya. Rasa sayang benar-benar kurasakan dari lubuk hatinya.
            “Baiklah” akhirnya kak Alena mengangguk dengan pasti.
            Kami pun berangkat dengan gaya seadanya, menggunakan motor masing-masing. Syukurlah, aku masih bisa mengendalikan amarahnya sementara.
***
            Sesampainya di bioskop. Kami jalan berdua, bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Dan akibatnya banyak pasang mata memperhatikan kami. Aku memang lebih tinggi dari kakakku, jadi nggak ada yang menyangka kalau kami adalah saudara. Hahaha menyenangkan sekali bisa menjaganya dari teman-teman berandalannya itu.
***
            Hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Kedua orang tua kami telah resmi bercerai selama 2 bulan. Dan selama 2 bulan itu, mamaku terus menangis dan menangis karena setiap pulang sekolah wajahku selalu terluka. Kak Alena sudah hampir seminggu nggak masuk sekolah. Peringatan dari sekolah sudah tidak dipedulikan lagi sama sekali. Hatinya selalu menjerit dan tangannya susah terkontrol selama di sekolah. Dia berkelahi dengan temannya di sekolah, karena emosinya sudah susah terkontrol. Begitu juga aku.
            Kami menjadi bahan bullyan satu sekolah, karena dalam jangka waktu seminggu gossip tentang ayah kami menyebar luas. Seorang pengusaha kaya terjerat hutang karena korupsi dan yang ku dengar, dia pemakai narkoba saat stress menghantam otak busuknya. Aku nggak habis pikir, makanya dia selalu seperti orang gila kalau sudah ada di rumah.
            Dan sekarang keluargaku benar-benar hancur. Ibuku selalu pulang malam karena banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan, kakakku tambah hancur seperti hatinya yang telah hancur, dan aku harus selalu berantem dan bolak-balik ruang BK gara-gara ucapan mereka yang terus menggerogoti pikiranku. Cobaan ini terasa nggak ada hentinya, selalu mengalir bagaikan air tenang yang berombak dahsyat hingga menimbulkan tsunami yang tak terlupakan.
***
            Ciit.. ciit.. ciit..
Alarm hapeku berbunyi, tanda sebuah kematian akan berlanjut lagi. sebuah neraka yang selalu mencabikku, akan mencabikku lagi semakin dalam. Udara dingin yang menusuk jantungku, seperti pembunuh yang juga ingin membunuhku secara perlahan tanpa bisa merasakan sebuah kehangatan.
Aku bangkit dari tidurku, dan mempersiapkan diri pergi ke sekolah neraka. Ya, sebuah sekolah yang hanya berisi orang-orang munafik yang sok peduli padahal terus menikamku tajam dari belakang. Perlahan mengoyak otak dan hatiku. Sakit.