Oleh
: Tri Yuni Adistya
“Kenapa
sih mama selalu beliin baju kembar” wajahnya merengut kesal membanting baju
baru yang baru beberapa menit dibelikan mamanya.
“karena kalian kan kembar, mama suka
kalau kalian juga pake baju kembar” dengan nada yang halus, mamanya masih
mencoba sabar menahan batin.
“Tapi Laela nda suka ma dikembarin
sama Laeli” wajahnya masih merengut kesal tanpa mau menoleh sedikitpun
“Panggil dia kakak, dia itu kakakmu”
mamanya terus mengelus dada
Tanpa menjawab lagi, Laela langsung
pergi meninggalkan mamanya dan Laeli yang sedari tadi diam tanpa suara.
Emosinya masih terus ia tahan. Laeli memang anak yang sabar. Ia pintar dan
penurut, sehingga banyak teman yang senang bermain dengannya. Tapi ada 1
sahabat yang selalu hadir menemani gundah gelisah di hatinya. Segala sesak dada
Ia tumpahkan padanya yang selalu setia berada disampingnya. Menjadi pengobat
rindu, dan pengobat hati. Kejadian hari ini cukup menyakitkan bagi Laeli. Laeli
pamit keluar menemui sahabatnya, dan mama mengizinkan.
“Ari, sebenarnya apakah tindakan
bagus selalu mengalah pada saudara kembar?” wajahnya tertunduk di bangku taman
yang sesak dengan anak-anak bermain bola.
“Kenapa? Kenapa selalu itu yang kamu
tanyakan?” tangannya memegang pundak Laeli menenangkan.
“Aku… aku bingung harus bagaimana,
aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku… aku bingung dan aku menyayanginya”
seketika tangisnya pecah ditengah kebisingan, wajahnya ia tutupi dengan kedua
telapak tangannya. Tidak mampu lagi membendung dan menahan itu semua.
“Tenanglah Laeli, ada mamamu yang
sayang padamu, dan ada aku yang… “ perkataanya berhenti tiba-tiba, lalu ia
merangkulkan tangannya pada pundak Laeli. “ada aku yang akan selalu ada
untukmu” ia melanjutkan kata-katanya dengan ragu.
Seketika suasana menjadi sepi tanpa
obrolan. Yang terdengar hanya suara teriakan anak-anak bermain bola dan
tangisan Laeli yang belum terhenti. Ari masih menenangkannya dengan sabar.
Seakan-akan ia juga ikut merasakan kepedihan yang terus menggores di hati Laeli.
Belum kering luka dibuat adiknya, adiknya terus mencambuk pembuluh darah
kakaknya yang selalu bungkam dan terlilit rantai kesabaran.
Detik waktu terus berjalan tanpa
memperhatikan keadaan. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Saatnya Laeli dan Ari pulang ke rumah. Ari mengantarkan Laeli sampai ke rumah
dengan suasana hati yang sudah membaik setelah ditraktir ice cream strawberry
kesukaan Laeli. Jarak rumah mereka hanya dibatasi oleh tiga rumah, makanya Ari
sering berkunjung ke rumah dan sudah seperti anak sendiri dari keluarga Laeli.
###
“Ari… Ariii…” Laeli sudah menegtuk
pintu rumah Ari dari tadi, tapi tidak ada jawaban dari sahabatnya. “apa Ari
masih tidur ya? Tapi ini kan sudah mau telat berangkat sekolah” laeli masih
terus mengetuk pintu rumanya. Hingga akhirnya bu Ros, tetangga mereka keluar
dari dalam rumah.
“Keluarga Ari sudah pindah rumah
Laeli, masa’ nda dikasi tau Ari?” kata bu Ros.
“Pindah? tapi Ari nggak ngomong
apa-apa ke Laeli kemaren” hatinya langsung merasa sakit karena tidak ada kabar
sama sekali, ditambah lagi Ari nggak ada pamit ke Laeli. Air matanya sudah
tidak bisa dibendung, ia menangis di depan pintu. Melihat Laeli menangis, bu
Ros mengantarkan Laeli pulang ke rumahnya.
Laeli langsung memasuki kamarnya,
dan membanting pintu kencang. Mamanya mengerti dan paham betul apa yang
dirasakannya. Ari sengaja tidak mau mengabarkan kepindahannya, dan mamanya
mengerti maksudnya.
Laeli menangis sejadi-jadinya di
dalam kamar. Akhirnya ia bolos sekolah dan hanya mengurung di dalam kamar
sampai sore hari. Saudara kembarnya sedikit khawatir dengan keadaannya, karena
dia belum makan dari pagi. Meskipun ia benci dengan kakaknya, tapi terkadang ia
juga merasakan sakit saat kakaknya juga sakit. Ia paham betul dengan sakitnya,
tapi ia mengabaikannya.