Jumat, 08 Desember 2017

“BATU BERLIKU”
Oleh : Tri Yuni Adistya

            Tengah malam sudah terlewat. Tapi Riani belum juga terlihat melewati pagar rumah. Ayahnya terus mondar-mandir dengan khawatir dan geram. Geram dengan kebiasaan anaknya yang sering pulang larut malam. Beberapa menit kemudian, motor Riani mulai terlihat dan ayahnya menunggu dari dalam rumah.
 “Perempuan macam apa kamu pulang jam segini, mau tunggu ayahmu mati baru kamu berjilbab hah?”  nadanya sedikit meningkat tinggi. Tapi Riani tidak menggubrisnya dan langsung pergi menaiki tangga. Tangan ayahnya mengepal. Ia terduduk di bawah tangga, memukul dadanya dengan kencang. “apa salahku Gusti? Mengapa seperti ini? Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah” perlahan air matanya menetes. Ia tutupi wajahnya dengan tangannya yang mulai keriput. Mengingat anak bungsunya yang seperti itu, dan istrinya yang telah koma selama seminggu karena kecelakaan. Hatinya menjerit kencang di dalam persembunyian.
            Riani memasuki kamar birunya, menyetel musik dengan volume tinggi. Ayahnya masih menangis di bawah tangga. Mengelus dada, menahan emosi. Lalu ia bangkit, dan keluar rumah untuk mematikan saklar listrik. Taakk… Gelap. Seisi rumah telah diselimuti kegelapan malam tanpa listrik. Riani mulai menjerit bersama kegelapan dan ketakutan. Ayahnya sudah mulai lelah, dan membiarkan anaknya menjerit dalam dentingan jam yang terus bersyair.
***
            Matahari telah menyusup melewati celah-celah jendela. Riani terbangun dengan matanya yang bengkak setelah melewati gelapnya malam dengan jerit tangis. Sepi. Rumah itu membisu diantara konflik ayah dan anak. Tanpa sarapan dan tanpa obrolan, mereka langsung pergi menjalani rutinitas harian.
            Riani masih berdiam diri di dalam kelas sambil memainkan handphonenya.
 “Ri, ntar malam balapan yuk, bosen di rumah” ajak sahabatnya, Della.
“Hmm… boleh juga, aku juga lagi bosen di rumah”
“Oke, gue jemput jam 10 malam”
***
            Mereka berangkat tepat jam 10 malam. Motor-motor telah berjajar rapi di pinggir jalan yang sepi. Padahal balapan akan dimulai jam 11.30 malam.
            Waktu telah berputar dan menunjukkan pukul 11.35. Balap liar akan segera dimulai. Maka tibalah di penghujung malam disaat peluit tanda siap mulai berceloteh beberapa kali.
Motor-motor mulai melaju, Riani menarik gasnya seperti orang kesetanan. Fikri, salah satu sahabatnya mulai melesat melewati Riani. Riani tambah tidak sadarkan diri dengan menarik gas motornya lagi. Saat ini dia menduduki juara 1 untuk satu kali putaran. Senyumnya merekah bangga dengan kesombongan. Riani terus melaju dan tanpa disangka, lubang berukuran sedang terparkir bebas di tengah jalan. Riani mencoba menghindarinya, tetapi saat melenggang bebas ke kanan jalan, motor matic yang ia kenal berkendara dengan laju. Mata mereka saling bertabrakan. Riani sudah tidak bisa mengendalikan kecepatannya. Dan akhirnya, tabrakan pun tak bisa dielakkan. Riani terseret beberapa meter dari motornya, tapi motor yang ia tabrak, yang tak lain adalah ayahnya sendiri telah hancur dan terseret bersama tubuhnya.
Perlombaan pun berhenti. Riani tak sadarkan diri, banyak luka di sekujur tubuh karena saat itu pakaiannya sangat pendek. Tapi sayang, ayahnya mengalami pendarahan hebat di kepala. Helmnya terlepas saat terjatuh dan terseret tanpa pengaman. Baju putihnya berubah warna. Warna merah, amis dan anyir menyebar. Fikri yang tak jauh dari mereka langsung menelepon ambulan dari rumah sakit terdekat, yaitu rumah sakit dimana ibunya dirawat.
***
Matanya mengerjap kesilauan terpapar sinar lampu kamar rumah sakit. Riani mulai sadarkan diri. Tiba-tiba air matanya menetes melewati pelipis mata. Riani terisak, membangunkan Rama dan Fikri yang tertidur di sofa. Rama menghampirinya dengan senang dan khawatir.
“Kakak, dimana ayah?” suaranya serak dan air matanya belum bisa berhenti.
“Ayah… ayah..” Rama kebingungan  bagaimana menjelaskan kondisi ayahnya. “Ayah sudah tenang de” suaranya mengecil dari sebelumnya.
“Maksud kakak apa? Ayah baik-baik aja kan?” air matanya tambah deras mengalir.
            Rama membalikkan badannya dan pergi meninggalkan ruangan. Akhirnya Fikri mulai mendekat dan menjelaskan bahwa ayahnya telah tenang. Tenang dalam pembaringannya yang abadi. Maut telah memisahkan mereka saat ayahnya sudah benar-benar sekarat. Dan hati ayahnya akan selalu ada di hati Riani.
“Apa maksudmu Fik? Apa maksudmu? Ayahku memang selalu ada di hatiku meskipun aku adalah anak durhaka yang tidak pernah membuatnya bangga” sekujur tubuhnya bergetar mendengar penjelasan Fikri.
“Saat ini, hatimu adalah hati ayahmu. Kau hampir mati kemaren, hatimu rusak terhantam motor ayahmu saat kecelakaan. Dan ayahmu sedang sekarat saat itu, tapi masih tersadar. Akhirnya, ia mendonorkan hatinya padamu, karena ayahmu yakin kalau kamu akan berubah lebih baik”
            Riani tak sanggup berkata-kata lagi, tubuhnya bergetar dan ia memalingkan wajahnya dari Fikri. Fikri pun pergi meninggalkan ruangan. Membiarkannya sendirian dengan isakan tangis di keheningan malam.