Rabu, 17 April 2013


“Hukuman Termanis”
By : Tri Yuni Adistya
Pagi ini, mendung menghiasi suasana hatiku yang sedang galau. Berbagai macam pertanyaan terlontar keluar dari celah-celah otakku yang mulai berputar-putar bagaikan baling-baling yang terbang di angkasa bebas.
Mataku terus berputar bagaikan bola pingpong yang memantul-mantul di lantai ubin. Kedua tanganku menopang kepalaku yang terasa berat diangkat. Sesekali, aku melirik bunga mawar di atas mejaku cukup lama lalu kumainkan lagi bola mataku ke segala penjuru. Hampir setiap hari bunga mawar ini nangkring di bawah laci meja ku. Tetapi aku tidak pernah tau, siapa yang meletakkan bunga segar ini di bawah laci meja ku.
Ah, pusing sekali aku terus memikirkan orang itu. Jika ia meyukaiku kenapa harus sembunyi-sembunyi memberikan bunga mawar yang indah ini. Seperti biasanya juga, aku merontokkan kelopak - kelopaknya satu per satu. Seperti aku merontokkan pikiranku yang selalu penasaran dengan orang yang telah pengecut memberikan bunga mawar ini padaku.
“bunga mawar lagi?” tanya Monica begitu ia duduk di sampingku. Wajahnya fresh banget, model rambutnya juga berubah. Seperti biasanya, seminggu sekali ganti model rambut.
“iya nih, BeTe-in banget tau nggak, tiap hari ada mawar, tapi nggak tau pengirimnya” kataku lemes sambil terus mencabuti kelopak – kelopak bunga yang tak berdosa itu.
“ya sabar aja, paling nanti dianya muncul sendiri”
Aku tidak menjawabnya. Hanya senyum kecut yang aku sunggingkan di bibirku. Tanganku juga masih asyik mencabuti kelopak-kelopak bunga mawar tak bersalah. Kelopak bunga yang sudah terlepas dari tangkainya berhamburan di atas meja dan di lantai keramik yang warnanya sudah butek kecoklatan. Wanginya menari-nari di sekitar hidungku. Ada perasaan tenang di saat mencium wanginya yang menawan. Tapi pikiran ku tak pernah lepas dari si pengirim misterius.
Beberapa menit kemudian, suara singa lepas mengaum dari depan meja ku. Suaranya seperti memecahkan keramaian kelas XI IPS 1.
“kebiasaan deh loe, buat sampah di dalam kelas” bentakannya hampir melukai telingaku. “mau buat pemujaan roh nenek moyang loe, ngambur-ngambur mawar” lanjutnya sambil memainkan bola matanya melihat kelopak-kelopak mawar yang berserakan kemana-mana.
“ih apa-an sih loe teriak-teriak aja, suka-suka gue dong mau ngapain, nanti juga gue bersihin” suaraku tak kalah nyaringnya dari suaranya. Kalau suaranya tinggi suaraku akan lebih ku tinggikan hingga trdengar melengking seperti nenek lampir tertawa kemenangan.
Semula berawal dari bunga mawar, hingga menimbulkan pertengkaran adu mulut antara aku dan Gilang. Seperti biasa, setiap ada masalah kecil pasti dia selalu ikut campur hingga akhirnya menimbulkan masalah besar sampai di hadapan kepala sekolah. Dasar Gilang nyebelin, selalu hancurin hidup ku. Sudah 3 tahun aku sekelas dengannya, tetapi sekali pun tak pernah akrab dengannya.
Pertengkaran ku berakhir ketika kepala sekolah muncul di ambang pintu kelas ku. Sebenarnya ketua kelas ku yang bernama Radit sudah memperingatkan kami. Tapi sayang dia telat ngabarin, dan kami juga nggak dengar ucapannya karena terlalu asyik adu mulut. Aku dan Gilang langsung salah tingkah dan berpura-pura akrab.
“tidak usah pura-pura akrab, saya sudah dengar perkelahian kalian dari ruangan saya, cepat ikut ke ruangan saya” matanya kian melotot, pipiny seperti bergoyang saat ia bicara. Apalagi kumis tebalnya juga ikut bergoyang saat ia bicara. Bagaimana pun rupanya, beliau adalah kepala sekolah kami yang tersayang. “cepat..” pak kepsek langsung meninggalkan kelas kami, dan berjalan membawa kewibawaannya.
Sebelum meninggalkan kelas, aku dan Gilang saling bertatap mata. Menubrukkan kebencian yang terpendam sejak lama. Matanya tajam, aku membalasnya dengan lebih tajam lalu aku langsung meninggalkannya menuju ruang kepsek. Di juga mengikuti ku dari belakang. Seperjalanan kami, kami hanya diam membungkamkan mulut. Tak ada yang mengundang dan memancing emosi lagi. Walaupun mulut bungkam, tapi hati tak pernah bungkam. Saling mencela dari hati yang paling dalam. Yaelah, ada juga saling mencela lewat hati. Ada-ada saja kau ini.
Akhirnya kami langsung masuk ke ruang kepsek dan duduk ketika di persilahkan. Awalnya pak kepsek hanya diam dan memperhatikan kami satu persatu dengan tatapan tajam setajam pisau belati. Kami pun juga diam dan saling menundukkan kepala. Takut melihat kedua bola mata pak kepsek yang sedang garang. Tak ada suara, sepi, sunyi senyam di ruangan ini. Hanya ada suara detak jantung yang terdengar seperti dangdutan di padu dengan dentingan jam tua yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali.
“jadi seperti itu kelakuan kalian di kelas? Mau jadi preman di sekolah ini? Apa kalian tidak malu? Ha…” kata-kata pembukaan di keluarkan oleh pak kepsek dengan sangat tajam. “Mau jadi apa kalian nanti?” terlihat ada genangan air di pelupuk mata tua pak kepsek. Apa? Pak kepsek mau nangis? “saya ini sudah bosan menangani kalian terus, saya juga banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, tapi kalian selalu buat masalah dan menambah kepenatan di otak saya” lanjutnya dengan suara pelan.
Kami tidak berkata apa-apa. Kami hanya menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta. Mendengarkan segala macam ocehan pak kepsek yang terus berlarian keluar lewat telinga kanan. Hanya ada beberapa yang nyangkut disana.
Jiwa wanitaku keluar. Aku meneteskan air mata saat mendengar pak kepsek membawa-bawa orang tua ku yang sudah tiada. Hati ku terasa perih dan sakit mendengarnya. Karena aku tak pernah merasakan belaian orang tua kecuali orang tua yang mengasuh ku sejak bayi. Kabarnya aku di temukan di depan pagar kedua orang tua asuh ku. Sebersit rasa benci keluar dari hati ku. Aku benci, benci pada orang tua yang menelantarkan ku sewaktu bayi. Hingga harus kehujanan di tengah malam yang sunyi. Untungnya tangisan ku memecahkan suara hujan, hingga akhirnya orang tua asuh ku keluar dari rumah mewahnya.
Gilang juga masih tertunduk. Ketika mendengar suara isakan ku, ia melirikku dan langsung memberikan selembar tisu yang ada di kantung bajunya.
***
Akhirnya, selesai juga kepala sekolah berceloteh. Kami langsung meminta maaf beribu-ribu kali dan langsung keluar dari ruangannya.
Di setiap perjalanan menuju kelas, kami hanya diam membungkam. Aku masih merasakan mataku seperti bengkak sehabis menangis, jadi aku masih terus menundukkan kepala.
“kok loe nangis sih” Gilang langsung mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. suara halusnya membuyarkan isi lamunanku.
“bukan urusan loe” kepala ku masih menunduk, tetapi suara jutek ku tak pernah hilang.
“gue kan Cuma pingin tau”
“loe bisa diam nggak sih” aku sudah bosan mendengarnya berbicara. Ku angkat kepalaku dan menatapnya dengan tajam. Lalu aku berjalan setengah berlari menuju toilet sekolah untuk meredakan emosiku.
Gilang hanya bisa menatap kepergianku meninggalkannya. Lalu dia melangkahkan kaki lagi dengan perasaan nggak karuan.
***
Sepulang sekolah ini aku berencana jalan-jalan ditemani Monica, sahabatku. Sebenarnya dia nggak mau ikut alasan mau kursus bahasa Inggris, tapi karena ego ku, aku memaksanya ikut dan bolos dari kursusnya satu hari ini saja demi menghilangkan kepenatan dalam pikiran ku. Egois sekali aku ini, tapi akhirnya dia mau juga dengan senang hati. Katanya sih, dia juga pingin refreshing setelah sekian lama menatap tulisan-tulisan di dalam buku-buku yang tebal nian. Rasanya penat juga tuh mata.
Bangkitnya aku dan Monica dari kursi, ternyata mengundang sepasang mata liar yang sedari tadi memperhatikan tingkah ku.
“Eva, gue Cuma mau nanya kenapa tadi loe nangis pas di ruang kepsek?” sedari tadi sampai sekarang, mata Gilang membersitkan tanda tanya yang besar.
“apa urusan loe sih, tumben loe perhatian sama gue?” pertanyaannya ku sambut dengan dingin dan tatapan curiga dari kedua mata coklat ku.
“gue Cuma pingin tau aja kok”
“mending loe diam aja deh, nggak usah banyak berkicau lagi” tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung menarik tangan Monica dan pergi meninggalkannya.
“loe tadi nangis? Kenapa?” Monica yang mendengar pertanyaan Gilang tadi, bertanya ulang pada ku. Sebenarnya aku paling males kalau membicarakan waktu yang tidak mengenakkan. Tapi karena aku dan Monica sudah berjanji akan saling terbuka, akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.
Ehm, masalah yang baru ku pikirkan saat ini adalah kenapa si Gilang yang selalu cari masalah sama dia jadi tiba-tiba perhatian seperti itu. Ah mungkin akal bulus nya dia aja supaya bisa dekat sama aku. Aku nggak mau berteman dengan dia. Kenapa? Karena dia nyebelin dan bikin aku selalu berhadapan sama pak kepsek.
***