“Hukuman Termanis”
By : Tri Yuni Adistya
Pagi ini,
mendung menghiasi suasana hatiku yang sedang galau. Berbagai macam pertanyaan
terlontar keluar dari celah-celah otakku yang mulai berputar-putar bagaikan
baling-baling yang terbang di angkasa bebas.
Mataku terus
berputar bagaikan bola pingpong yang memantul-mantul di lantai ubin. Kedua
tanganku menopang kepalaku yang terasa berat diangkat. Sesekali, aku melirik
bunga mawar di atas mejaku cukup lama lalu kumainkan lagi bola mataku ke segala
penjuru. Hampir setiap hari bunga mawar ini nangkring di bawah laci meja ku.
Tetapi aku tidak pernah tau, siapa yang meletakkan bunga segar ini di bawah
laci meja ku.
Ah, pusing
sekali aku terus memikirkan orang itu. Jika ia meyukaiku kenapa harus
sembunyi-sembunyi memberikan bunga mawar yang indah ini. Seperti biasanya juga,
aku merontokkan kelopak - kelopaknya satu per satu. Seperti aku merontokkan
pikiranku yang selalu penasaran dengan orang yang telah pengecut memberikan
bunga mawar ini padaku.
“bunga mawar
lagi?” tanya Monica begitu ia duduk di sampingku. Wajahnya fresh banget, model rambutnya juga berubah. Seperti biasanya,
seminggu sekali ganti model rambut.
“iya nih,
BeTe-in banget tau nggak, tiap hari ada mawar, tapi nggak tau pengirimnya”
kataku lemes sambil terus mencabuti kelopak – kelopak bunga yang tak berdosa
itu.
“ya sabar aja,
paling nanti dianya muncul sendiri”
Aku tidak
menjawabnya. Hanya senyum kecut yang aku sunggingkan di bibirku. Tanganku juga
masih asyik mencabuti kelopak-kelopak bunga mawar tak bersalah. Kelopak bunga
yang sudah terlepas dari tangkainya berhamburan di atas meja dan di lantai
keramik yang warnanya sudah butek kecoklatan. Wanginya menari-nari di sekitar
hidungku. Ada perasaan tenang di saat mencium wanginya yang menawan. Tapi pikiran
ku tak pernah lepas dari si pengirim misterius.
Beberapa menit
kemudian, suara singa lepas mengaum dari depan meja ku. Suaranya seperti
memecahkan keramaian kelas XI IPS 1.
“kebiasaan deh
loe, buat sampah di dalam kelas” bentakannya hampir melukai telingaku. “mau
buat pemujaan roh nenek moyang loe, ngambur-ngambur mawar” lanjutnya sambil
memainkan bola matanya melihat kelopak-kelopak mawar yang berserakan
kemana-mana.
“ih apa-an sih
loe teriak-teriak aja, suka-suka gue dong mau ngapain, nanti juga gue bersihin”
suaraku tak kalah nyaringnya dari suaranya. Kalau suaranya tinggi suaraku akan
lebih ku tinggikan hingga trdengar melengking seperti nenek lampir tertawa
kemenangan.
Semula berawal
dari bunga mawar, hingga menimbulkan pertengkaran adu mulut antara aku dan
Gilang. Seperti biasa, setiap ada masalah kecil pasti dia selalu ikut campur
hingga akhirnya menimbulkan masalah besar sampai di hadapan kepala sekolah.
Dasar Gilang nyebelin, selalu hancurin hidup ku. Sudah 3 tahun aku sekelas
dengannya, tetapi sekali pun tak pernah akrab dengannya.
Pertengkaran ku
berakhir ketika kepala sekolah muncul di ambang pintu kelas ku. Sebenarnya
ketua kelas ku yang bernama Radit sudah memperingatkan kami. Tapi sayang dia
telat ngabarin, dan kami juga nggak dengar ucapannya karena terlalu asyik adu
mulut. Aku dan Gilang langsung salah tingkah dan berpura-pura akrab.
“tidak usah
pura-pura akrab, saya sudah dengar perkelahian kalian dari ruangan saya, cepat
ikut ke ruangan saya” matanya kian melotot, pipiny seperti bergoyang saat ia
bicara. Apalagi kumis tebalnya juga ikut bergoyang saat ia bicara. Bagaimana
pun rupanya, beliau adalah kepala sekolah kami yang tersayang. “cepat..” pak
kepsek langsung meninggalkan kelas kami, dan berjalan membawa kewibawaannya.
Sebelum meninggalkan
kelas, aku dan Gilang saling bertatap mata. Menubrukkan kebencian yang
terpendam sejak lama. Matanya tajam, aku membalasnya dengan lebih tajam lalu
aku langsung meninggalkannya menuju ruang kepsek. Di juga mengikuti ku dari
belakang. Seperjalanan kami, kami hanya diam membungkamkan mulut. Tak ada yang
mengundang dan memancing emosi lagi. Walaupun mulut bungkam, tapi hati tak
pernah bungkam. Saling mencela dari hati yang paling dalam. Yaelah, ada juga saling mencela lewat hati.
Ada-ada saja kau ini.
Akhirnya kami
langsung masuk ke ruang kepsek dan duduk ketika di persilahkan. Awalnya pak
kepsek hanya diam dan memperhatikan kami satu persatu dengan tatapan tajam
setajam pisau belati. Kami pun juga diam dan saling menundukkan kepala. Takut
melihat kedua bola mata pak kepsek yang sedang garang. Tak ada suara, sepi,
sunyi senyam di ruangan ini. Hanya ada suara detak jantung yang terdengar
seperti dangdutan di padu dengan dentingan jam tua yang selalu berbunyi setiap
satu jam sekali.
“jadi seperti
itu kelakuan kalian di kelas? Mau jadi preman di sekolah ini? Apa kalian tidak
malu? Ha…” kata-kata pembukaan di keluarkan oleh pak kepsek dengan sangat
tajam. “Mau jadi apa kalian nanti?” terlihat ada genangan air di pelupuk mata
tua pak kepsek. Apa? Pak kepsek mau
nangis? “saya ini sudah bosan menangani kalian terus, saya juga banyak
pekerjaan yang harus saya selesaikan, tapi kalian selalu buat masalah dan
menambah kepenatan di otak saya” lanjutnya dengan suara pelan.
Kami tidak
berkata apa-apa. Kami hanya menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta.
Mendengarkan segala macam ocehan pak kepsek yang terus berlarian keluar lewat
telinga kanan. Hanya ada beberapa yang nyangkut disana.
Jiwa wanitaku
keluar. Aku meneteskan air mata saat mendengar pak kepsek membawa-bawa orang
tua ku yang sudah tiada. Hati ku terasa perih dan sakit mendengarnya. Karena
aku tak pernah merasakan belaian orang tua kecuali orang tua yang mengasuh ku
sejak bayi. Kabarnya aku di temukan di depan pagar kedua orang tua asuh ku.
Sebersit rasa benci keluar dari hati ku. Aku benci, benci pada orang tua yang
menelantarkan ku sewaktu bayi. Hingga harus kehujanan di tengah malam yang
sunyi. Untungnya tangisan ku memecahkan suara hujan, hingga akhirnya orang tua
asuh ku keluar dari rumah mewahnya.
Gilang juga
masih tertunduk. Ketika mendengar suara isakan ku, ia melirikku dan langsung
memberikan selembar tisu yang ada di kantung bajunya.
***
Akhirnya,
selesai juga kepala sekolah berceloteh. Kami langsung meminta maaf beribu-ribu
kali dan langsung keluar dari ruangannya.
Di setiap
perjalanan menuju kelas, kami hanya diam membungkam. Aku masih merasakan mataku
seperti bengkak sehabis menangis, jadi aku masih terus menundukkan kepala.
“kok loe nangis
sih” Gilang langsung mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. suara halusnya
membuyarkan isi lamunanku.
“bukan urusan
loe” kepala ku masih menunduk, tetapi suara jutek ku tak pernah hilang.
“gue kan Cuma
pingin tau”
“loe bisa diam
nggak sih” aku sudah bosan mendengarnya berbicara. Ku angkat kepalaku dan menatapnya
dengan tajam. Lalu aku berjalan setengah berlari menuju toilet sekolah untuk
meredakan emosiku.
Gilang hanya
bisa menatap kepergianku meninggalkannya. Lalu dia melangkahkan kaki lagi
dengan perasaan nggak karuan.
***
Sepulang
sekolah ini aku berencana jalan-jalan ditemani Monica, sahabatku. Sebenarnya
dia nggak mau ikut alasan mau kursus bahasa Inggris, tapi karena ego ku, aku
memaksanya ikut dan bolos dari kursusnya satu hari ini saja demi menghilangkan
kepenatan dalam pikiran ku. Egois sekali aku ini, tapi akhirnya dia mau juga
dengan senang hati. Katanya sih, dia juga pingin refreshing setelah sekian lama
menatap tulisan-tulisan di dalam buku-buku yang tebal nian. Rasanya penat juga
tuh mata.
Bangkitnya aku
dan Monica dari kursi, ternyata mengundang sepasang mata liar yang sedari tadi
memperhatikan tingkah ku.
“Eva, gue Cuma
mau nanya kenapa tadi loe nangis pas di ruang kepsek?” sedari tadi sampai
sekarang, mata Gilang membersitkan tanda tanya yang besar.
“apa urusan loe
sih, tumben loe perhatian sama gue?” pertanyaannya ku sambut dengan dingin dan
tatapan curiga dari kedua mata coklat ku.
“gue Cuma
pingin tau aja kok”
“mending loe
diam aja deh, nggak usah banyak berkicau lagi” tanpa menjawab pertanyaannya,
aku langsung menarik tangan Monica dan pergi meninggalkannya.
“loe tadi
nangis? Kenapa?” Monica yang mendengar pertanyaan Gilang tadi, bertanya ulang
pada ku. Sebenarnya aku paling males kalau membicarakan waktu yang tidak
mengenakkan. Tapi karena aku dan Monica sudah berjanji akan saling terbuka,
akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.
Ehm, masalah
yang baru ku pikirkan saat ini adalah kenapa si Gilang yang selalu cari masalah
sama dia jadi tiba-tiba perhatian seperti itu. Ah mungkin akal bulus nya dia
aja supaya bisa dekat sama aku. Aku nggak mau berteman dengan dia. Kenapa?
Karena dia nyebelin dan bikin aku selalu berhadapan sama pak kepsek.
***