“Hukuman Termanis”
By : Tri Yuni Adistya
Pagi ini,
mendung menghiasi suasana hatiku yang sedang galau. Berbagai macam pertanyaan
terlontar keluar dari celah-celah otakku yang mulai berputar-putar bagaikan
baling-baling yang terbang di angkasa bebas.
Mataku terus
berputar bagaikan bola pingpong yang memantul-mantul di lantai ubin. Kedua
tanganku menopang kepalaku yang terasa berat diangkat. Sesekali, aku melirik
bunga mawar di atas mejaku cukup lama lalu kumainkan lagi bola mataku ke segala
penjuru. Hampir setiap hari bunga mawar ini nangkring di bawah laci meja ku.
Tetapi aku tidak pernah tau, siapa yang meletakkan bunga segar ini di bawah
laci meja ku.
Ah, pusing
sekali aku terus memikirkan orang itu. Jika ia meyukaiku kenapa harus
sembunyi-sembunyi memberikan bunga mawar yang indah ini. Seperti biasanya juga,
aku merontokkan kelopak - kelopaknya satu per satu. Seperti aku merontokkan
pikiranku yang selalu penasaran dengan orang yang telah pengecut memberikan
bunga mawar ini padaku.
“bunga mawar
lagi?” tanya Monica begitu ia duduk di sampingku. Wajahnya fresh banget, model rambutnya juga berubah. Seperti biasanya,
seminggu sekali ganti model rambut.
“iya nih,
BeTe-in banget tau nggak, tiap hari ada mawar, tapi nggak tau pengirimnya”
kataku lemes sambil terus mencabuti kelopak – kelopak bunga yang tak berdosa
itu.
“ya sabar aja,
paling nanti dianya muncul sendiri”
Aku tidak
menjawabnya. Hanya senyum kecut yang aku sunggingkan di bibirku. Tanganku juga
masih asyik mencabuti kelopak-kelopak bunga mawar tak bersalah. Kelopak bunga
yang sudah terlepas dari tangkainya berhamburan di atas meja dan di lantai
keramik yang warnanya sudah butek kecoklatan. Wanginya menari-nari di sekitar
hidungku. Ada perasaan tenang di saat mencium wanginya yang menawan. Tapi pikiran
ku tak pernah lepas dari si pengirim misterius.
Beberapa menit
kemudian, suara singa lepas mengaum dari depan meja ku. Suaranya seperti
memecahkan keramaian kelas XI IPS 1.
“kebiasaan deh
loe, buat sampah di dalam kelas” bentakannya hampir melukai telingaku. “mau
buat pemujaan roh nenek moyang loe, ngambur-ngambur mawar” lanjutnya sambil
memainkan bola matanya melihat kelopak-kelopak mawar yang berserakan
kemana-mana.
“ih apa-an sih
loe teriak-teriak aja, suka-suka gue dong mau ngapain, nanti juga gue bersihin”
suaraku tak kalah nyaringnya dari suaranya. Kalau suaranya tinggi suaraku akan
lebih ku tinggikan hingga trdengar melengking seperti nenek lampir tertawa
kemenangan.
Semula berawal
dari bunga mawar, hingga menimbulkan pertengkaran adu mulut antara aku dan
Gilang. Seperti biasa, setiap ada masalah kecil pasti dia selalu ikut campur
hingga akhirnya menimbulkan masalah besar sampai di hadapan kepala sekolah.
Dasar Gilang nyebelin, selalu hancurin hidup ku. Sudah 3 tahun aku sekelas
dengannya, tetapi sekali pun tak pernah akrab dengannya.
Pertengkaran ku
berakhir ketika kepala sekolah muncul di ambang pintu kelas ku. Sebenarnya
ketua kelas ku yang bernama Radit sudah memperingatkan kami. Tapi sayang dia
telat ngabarin, dan kami juga nggak dengar ucapannya karena terlalu asyik adu
mulut. Aku dan Gilang langsung salah tingkah dan berpura-pura akrab.
“tidak usah
pura-pura akrab, saya sudah dengar perkelahian kalian dari ruangan saya, cepat
ikut ke ruangan saya” matanya kian melotot, pipiny seperti bergoyang saat ia
bicara. Apalagi kumis tebalnya juga ikut bergoyang saat ia bicara. Bagaimana
pun rupanya, beliau adalah kepala sekolah kami yang tersayang. “cepat..” pak
kepsek langsung meninggalkan kelas kami, dan berjalan membawa kewibawaannya.
Sebelum meninggalkan
kelas, aku dan Gilang saling bertatap mata. Menubrukkan kebencian yang
terpendam sejak lama. Matanya tajam, aku membalasnya dengan lebih tajam lalu
aku langsung meninggalkannya menuju ruang kepsek. Di juga mengikuti ku dari
belakang. Seperjalanan kami, kami hanya diam membungkamkan mulut. Tak ada yang
mengundang dan memancing emosi lagi. Walaupun mulut bungkam, tapi hati tak
pernah bungkam. Saling mencela dari hati yang paling dalam. Yaelah, ada juga saling mencela lewat hati.
Ada-ada saja kau ini.
Akhirnya kami
langsung masuk ke ruang kepsek dan duduk ketika di persilahkan. Awalnya pak
kepsek hanya diam dan memperhatikan kami satu persatu dengan tatapan tajam
setajam pisau belati. Kami pun juga diam dan saling menundukkan kepala. Takut
melihat kedua bola mata pak kepsek yang sedang garang. Tak ada suara, sepi,
sunyi senyam di ruangan ini. Hanya ada suara detak jantung yang terdengar
seperti dangdutan di padu dengan dentingan jam tua yang selalu berbunyi setiap
satu jam sekali.
“jadi seperti
itu kelakuan kalian di kelas? Mau jadi preman di sekolah ini? Apa kalian tidak
malu? Ha…” kata-kata pembukaan di keluarkan oleh pak kepsek dengan sangat
tajam. “Mau jadi apa kalian nanti?” terlihat ada genangan air di pelupuk mata
tua pak kepsek. Apa? Pak kepsek mau
nangis? “saya ini sudah bosan menangani kalian terus, saya juga banyak
pekerjaan yang harus saya selesaikan, tapi kalian selalu buat masalah dan
menambah kepenatan di otak saya” lanjutnya dengan suara pelan.
Kami tidak
berkata apa-apa. Kami hanya menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta.
Mendengarkan segala macam ocehan pak kepsek yang terus berlarian keluar lewat
telinga kanan. Hanya ada beberapa yang nyangkut disana.
Jiwa wanitaku
keluar. Aku meneteskan air mata saat mendengar pak kepsek membawa-bawa orang
tua ku yang sudah tiada. Hati ku terasa perih dan sakit mendengarnya. Karena
aku tak pernah merasakan belaian orang tua kecuali orang tua yang mengasuh ku
sejak bayi. Kabarnya aku di temukan di depan pagar kedua orang tua asuh ku.
Sebersit rasa benci keluar dari hati ku. Aku benci, benci pada orang tua yang
menelantarkan ku sewaktu bayi. Hingga harus kehujanan di tengah malam yang
sunyi. Untungnya tangisan ku memecahkan suara hujan, hingga akhirnya orang tua
asuh ku keluar dari rumah mewahnya.
Gilang juga
masih tertunduk. Ketika mendengar suara isakan ku, ia melirikku dan langsung
memberikan selembar tisu yang ada di kantung bajunya.
***
Akhirnya,
selesai juga kepala sekolah berceloteh. Kami langsung meminta maaf beribu-ribu
kali dan langsung keluar dari ruangannya.
Di setiap
perjalanan menuju kelas, kami hanya diam membungkam. Aku masih merasakan mataku
seperti bengkak sehabis menangis, jadi aku masih terus menundukkan kepala.
“kok loe nangis
sih” Gilang langsung mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. suara halusnya
membuyarkan isi lamunanku.
“bukan urusan
loe” kepala ku masih menunduk, tetapi suara jutek ku tak pernah hilang.
“gue kan Cuma
pingin tau”
“loe bisa diam
nggak sih” aku sudah bosan mendengarnya berbicara. Ku angkat kepalaku dan menatapnya
dengan tajam. Lalu aku berjalan setengah berlari menuju toilet sekolah untuk
meredakan emosiku.
Gilang hanya
bisa menatap kepergianku meninggalkannya. Lalu dia melangkahkan kaki lagi
dengan perasaan nggak karuan.
***
Sepulang
sekolah ini aku berencana jalan-jalan ditemani Monica, sahabatku. Sebenarnya
dia nggak mau ikut alasan mau kursus bahasa Inggris, tapi karena ego ku, aku
memaksanya ikut dan bolos dari kursusnya satu hari ini saja demi menghilangkan
kepenatan dalam pikiran ku. Egois sekali aku ini, tapi akhirnya dia mau juga
dengan senang hati. Katanya sih, dia juga pingin refreshing setelah sekian lama
menatap tulisan-tulisan di dalam buku-buku yang tebal nian. Rasanya penat juga
tuh mata.
Bangkitnya aku
dan Monica dari kursi, ternyata mengundang sepasang mata liar yang sedari tadi
memperhatikan tingkah ku.
“Eva, gue Cuma
mau nanya kenapa tadi loe nangis pas di ruang kepsek?” sedari tadi sampai
sekarang, mata Gilang membersitkan tanda tanya yang besar.
“apa urusan loe
sih, tumben loe perhatian sama gue?” pertanyaannya ku sambut dengan dingin dan
tatapan curiga dari kedua mata coklat ku.
“gue Cuma
pingin tau aja kok”
“mending loe
diam aja deh, nggak usah banyak berkicau lagi” tanpa menjawab pertanyaannya,
aku langsung menarik tangan Monica dan pergi meninggalkannya.
“loe tadi
nangis? Kenapa?” Monica yang mendengar pertanyaan Gilang tadi, bertanya ulang
pada ku. Sebenarnya aku paling males kalau membicarakan waktu yang tidak
mengenakkan. Tapi karena aku dan Monica sudah berjanji akan saling terbuka,
akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.
Ehm, masalah
yang baru ku pikirkan saat ini adalah kenapa si Gilang yang selalu cari masalah
sama dia jadi tiba-tiba perhatian seperti itu. Ah mungkin akal bulus nya dia
aja supaya bisa dekat sama aku. Aku nggak mau berteman dengan dia. Kenapa?
Karena dia nyebelin dan bikin aku selalu berhadapan sama pak kepsek.
***
Keesokan
harinya…
Hati ku semakin
galau karena selalu menemukan bunga mawar tanpa nama pengirim. Rasanya ingin ku
maki orang yang mengirimkannya secara sembunyi-sembunyi. Pengecut sekali dia,
pikirku.
Oh mungkin ada
sesuatu yang tertinggal. Kucoba meraba lagi laci ku hingga ke dalam-dalam dan
ke ujung-ujung. Yes, berhasil. Aku menemukan sebuah kertas berwarna biru
langit. Ehm, dia tau banget warna kesukaanku. Ehmm, wangi kertas ini seperti
masih baru. Wangi mawar juga. Mungkin amplop ini di rendam pakai ribuan bunga
mawar semalaman hingga baunya menusuk banget di hidung ku.
Perlahan-lahan
tapi pasti, ku buka surat itu dengan rasa penasaran dan jantung yang kian
memainkan gendang dengan sangat keras. Akhirnya aku tau siapa pengirim bunga
mawar harian. Aku mencoba membacanya dengan senyum bersemangat.
Gomenasai, aku memang laki-laki yang pengecut
Pengecut kaena tidak bisa memberikan mawar ini secara bertatap muka
Bagiku, tak apa kau menganggapku begitu
Karena aku suka melihat wajah manis mu yang sedang kebingungan
Aku suka melihat bibirmu cemberut karena selalu ingin tau siapa diriku
Dan aku suka melihatmu tersenyum saat kau mendapati mawar ini
Aku ingin selalu melihatmu tersenyum, biarkan sang pelangi merasa iri
dengan senyumanmu
Aku tak ingin melihatmu bersedih karena sesuatu hal yang tidak bisa aku
mengerti
Karena saat itu terjadi padamu, hatiku kian mendung memikirkan kau yang
bersedih,
Mata ku tak bisa terpejam karena terus memikirkan penyebab air matamu
mengalir
Gomenasai..
Bisa kah kau temui aku di bawah pohon jambu di belakang sekolah?
Sekarang..
Huh, nyebelin
banget. Tanpa nama pengirim. Tapi aku senang membacanya. Kalau begitu aku harus bergegas ke pohon
jambu.
Seperjalanan ku
menuju pohon jambu, hatiku selalu riang gembira mendendangkan lagu-lagu cinta.
Semakin senang hatiku. Sampai-sampai aku di pelototi aneh oleh semua penghuni
sekolah yang aku lewati. Kenapa? Hehe, aku senyum-senyum sendiri.
Wah nggak sabar
melihat wajahnya. Dari belakang aja terlihat keren, apalagi dari depan ya?
Berbagai pertanyaan terus terlontar dari isi kepalaku. Jantungku bergetar tak
menentu. Dengan segera aku langsung menghampirinya, tak lupa memamerkan senyum
termanis.
“hai” sapaku
terlebih dahulu
Ia langsung
menoleh melihatku dengan tatapan liarnya. W-O-W, keren banget dari dekat. Gery,
anak XII IPA 3. Kakak kelas nih, kok bisa nyantol sama aku ya? Tanda tanya
besar berdiri tegak di atas kepalaku.
“oh hai, ada
apa? Sini duduk” Gery membalas sapa ku dengan senyumnya yang di lengkapi lesung
pipit seperti Afghan. Dia langsung menggeser badannya dan memberikan aku tempat
untuk duduk.
“gue nggak
nyangka ternyata kak Gery yang selalu mengirimi aku mawar”
“mawar?” ada
tanda tanya besar di bulatan matanya. Apa maksudnya? “oh iya, kamu suka kan?
Tanpa di
sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dan memasang telinga
tajam-tajam. Ada mendung di hatinya saat melihat mereka berdua-an. Ada rasa
menyesal di dalam dadanya. Ada perasaan marah pada dirinya dan ada perasaan
benci pada Gery.
“suka banget
kak, tapi kak Gery kenapa nggak ngasih langsung sih?”
“iya kah? Ehm,
aku Cuma nggak tahan aja melihat wajah manis kamu. Kalau aku memberikannya
secara langsung, aku bisa kaya semut ngeliat gula”
“kakak lagi
ngegombal?”
“ah nggak kok”
Huek, rasanya
ingin muntah mendengar kata-kata si Gery itu. Ingin rasanya ia keluar dari
persembunyiannya itu. Tapi apa daya, kekuatan sedang tidak menyertainya. Muak
melihat suasana tersebut, dia memilih pergi dengan perasaan dongkol.
“oh iya, ada
sesuatu yang pingin aku omongin sejak lama” wajahnya menatap ku dengan serius.
“ada apa?”
Tiba-tiba saja, jantung ku serasa berdebar kencang dan ingin melompat-lompat
seperti kodok mencari mangsa.
“loe mau nggak
jadi pacar gue?” matanya menatap ku secara dalam, sedalam benua pacific. Dalam
banget kan? Rasanya jantung ini benar-benar pingin lompattt.
“Are you
serious?” kataku tak percaya.
“Yes, I’m
serious”
“aku senang
banget kak” rasa senang ku berterbangan, serasa ada banyak bunga yang
berterbangan di sekitar tubuh ku. “boleh kita coba”
“baiklah”
Teng-teng-teng.
Bel tua menjerit sangat kencangnya. Saatnya masuk, dan aku harus mengakhiri
pertemuan ku dengan pacar baru ku. Hahaha, narsis banget aku.
Sepanjang
perjalanan menuju kelas, hati ku masih berbunga-bunga. Orang-orang di
sekelilingku terlihat bingung melihat ku yang senyum-senyum sendiri.
Sampai di depan
kelas, ternyata ada Gilang dan Rani sedang duduk-duduk berdua di depan kelas.
Kebetulan guru yang akan mengajar di kelas ku belum datang.
Aku
memandangnya sinis, tapi dia memandangku sedih. What happen? Lama ia memandangku, aku langsung memalingkan wajahku
dan langsung masuk kelas dengan bibir yang terus tersenyum.
“kayak nya lagi
seneng banget nih, cerita dong” Monica yang melihat gelagatku seperti orang
gila senyum-senyum sendiri langsung bertanya padaku dengan tatapan centil dan
menggoda.
“iya nih, GUE
JADIAN SAMA KAK GERY” nggak nyangka, ternyata aku teriak begitu kencangnya.
Sampai-sampai, Monica yang ada di sampingku menutup telinganya dengan kuat.
Mungkin satu kelas mendengar teriakan ku. Bahkan sampai keluar kelas dan
terdengar sampai di kelas sebelah.
“kak Gery anak
kelas XII IPA 3? Celutuk salah satu temanku yang bernama Ruli.
“yupz” dengan
bangganya, aku memamerkan lagi senyum kemenangan.
Wah, hebat loe”
kata si ketua kelas. Mungkin kalau aku melihat kepalaku sendiri, mungkin
membesar sangkin bangganya.
“Selamat ya”
kata Monica sambil menjabat tangan ku erat. Sepertinya dia juga bangga punya
sahabat seperti ku. Hahaha, Ge-eR sekali aku.
Tak lama
kemudian, Gilang dan Rani memasuki kelas dan disusul oleh pak sabar. Sangking
sabarnya tuh, sesuai dengan gelar nama yang ia pikul. Aku memang senang dengan
guru ini. Orangnya sabar banget. Sampai jarang ngerjain tugas pun, tak masalah
oleh beliau.
Lama-lama di
perhatikan, kayaknya tumben banget Gilang anteng-anteng di bangkunya. Biasanya
kan dia berkicau mirip burung beo. Ada apa dengannya? Rasanya sepi juga kalau
belum berantem sama dia.
***
Akhirnya jam
istirahat tiba. Aku seneng banget karena bisa bertemu lagi dengan kak Gery.
Siap-siap aku bangkit dan akan menuju ke kelas kak Gery. Emang nekat aku. Tanpa mengajak Monica lagi, karena biasanya setiap
aku mau pergi pasti aku ngajak dia. Tapi yang ini nggak dulu deh. Hehehe.
Saat aku
bangkit, Rani mendatangi ku. Rasanya tumben banget, apalagi wajahnya terlihat
sangat serius. Lagi-lagi ku lirik Gilang yang sedang diam di bangkunya sambil
memainkan I-pad apple nya. Kenapa sih anak ini? Tumben banget diam.
Tanpa ber
bla-bla-bla, Rani langsung mengajak ku ke bangku paling pojok kelas. Ngapain sih? Kayak orang pacaran aja, nggak
ding aku normal kok.
Apa yang ingin
dia bicarakan dengan ku? Ku biarkan saja dia nyerocos duluan. Bla..bla..bla..
dan kesimpulan dari obrolan kami adalah…deng..deng.. yang meletakkan mawar di
lacinya setiap hari adalah bukan kak Gery. Tentu saja aku marah dengannya. Tau
dari mana dia hal itu? Jangan-jangan?? Ah nggak mungkin banget.
Aku langsung
bangkit dari kursi dan langsung keluar kelas membawa rasa dongkol yang
sangat-sangat.
Rani pun mulai
berdiri juga dan mulai mendekati Gilang lagi. Ada apa dengan hubungan mereka?
Sepertinya ada sesuatu yang penting hingga memancing emosi Gilang. Ehmm, ada
yang nggak beres nampaknya.
***
Istirahat telah
usai. Penyakit ku kambuh lagi. Senyum-senyum sendiri saat menuju kelas. Hati ku
berbunga-bunga lagi. Serasa ada mahkota kebesaran yang melekat di atas kepala.
Mataku kian
melotot ketika sampai di depan mejaku. Apa-apaan ini? Banyak sekali taburan
bunga mawar di atas mejaku. Tapi kenapa? Mawar ini terlihat layu tak
bersemangat. Siapa yang menaburkan ini? Monica mana ya? Apa dia tau ya? Ehm,
lebih baik aku membersihkan meja ini. Saat Monica balik aku akan menanyakannya.
Sret..sret..sret..
saat aku menyingkirkan taburan bunga-bunga itu, aku melihat sebuah tulisan
bertinta hitam. Seingat ku, meja ku ini paling bagus dan paling bersih di
antara yang lain. Tapi aku yakin, ini memang benar-benar mejaku.
Ku perhatikan
betul-betul tulisan itu. Apa ini? Aku
kecewa, begitulah isi tulisannya. Siapa? Siapa yang kecewa? Dan untuk siapa
kekecewaan itu? Tanda tanya besar melayang-layang di atas ubun-ubun ku. Membuat
kepalaku menjadi pening nggak karuan. Seperti kusut otak ini.
“Monic, kamu
tau siapa yang menyebarkan kelopak mawar di mejaku ini” begitu Monica datang,
aku langsung menanyakan rasa penasaran ku padanya. Saat bersama Monica, aku
memakai ungkapan aku-kamu. Tapi kalau sama orang yang nyebelin, nggak jarang
aku pakai ungkapan loe-gue. Alay banget
ya aku, hehehh.
Monica pun tak
tau, dia hanya menggeleng seperti boneka kucing yang biasanya di pajang sama
orang cina. Oh iya ya, boneka kucingnya kan mangguk-mangguk, bukan
geleng-geleng. Ops, gomenasai.
“kenapa sih loe suka banget buat sampah di kelas ini”
pertanyaan sinis terlontar keluar dari mulut Gilang yang masih duduk di
bangkunya. Coba aja gurunya nggak telat datang, Gilang nggak bakal mincing
perkelahian.
“ih kenapa sih
loe, lagian bukan gue yang buat sampah disini”
“ngeles aja
loe, jelas-jelas sampah-sampah itu berserakan di atas meja loe”
“ish, pasti loe
kan yang buat sampah di meja gue” tangan telunjuk ku menunjuk dirinya tajam.
Sorot mataku berubah menjadi benci padanya.
“udah Va,
jangan bikin ribut lagi” Monica mencoba menghentikanku. Tapi sayangnya,
ucapannya nggak bisa masuk ke telinga ku. Rasanya otak ku sudah tertutup oleh
rasa benci pada Gilang.
“biarkan dia
berkicau Mon, lagian kurang kerjaan banget gue buat sampah di meja nya”
“dasar loe ya,
jujur aja kenapa sih”
Segala sumpah
serapah terlontar dari mulut ku. Begitu juga dengan Gilang yang kata-katanya
semakin tajam dan pedas. Tak ada yang mau mengalah diantara kami. saling
mempertahankan egonya masing-masing. Rasanya sakit juga hati ku. Dia
benar-benar nggak bisa mengerti perasaan cewek.
Lagi-lagi pak
kepsek datang dengan wajah yang lebih garang dari kemaren. Sepertinya dia sudah
lelah banget menghadapi kami yang selalu bikin ribut di kelas. Dan lagi-lagi,
kami di suruh keruangan beliau.
Sudah jadi
kebiasaan ku dan Gilang yang selalu menghadap kepala sekolah berdua. Nggak
heran kalau satu sekolah mengenal kami dengan jelas. Sebenarnya malu juga sih,
tapi karena kebiasaan, rasa malu itu seperti tertutup. Padahal rasa malu kan
sebagian dari iman.
Bla..bla..bla..
akhirnya pak kepsek memutuskan untuk menghukum kami di tengah lapangan yang
sedang terik matahari. Sepertinya matahari itu tersenyum mengejek melihat kami
berdiri di bawahnya sambil hormat pada sang bendera merah putih. Memalukan
sekali.
Kulirik semua
orang yang berjalan, aku dan Gilang sudah seperti artis ibu kota yang selalu di
pandang. Kulirik Gilang yang terus diam dan mengucurkan banyak keringat dari
dahinya, wajahnya terlihat pucat. Tiba-tiba hati ku merasa iba. Coba aja aku
tadi dengerin Monica, pasti nggak bakal kayak gini kejadiannya. Sudah lah, nasi
sudah menjadi bubur. Jalankan saja hukuman pak kepsek itu.
Tiba-tiba
mataku ingin melirik kelas XII IPA 3, sepertinya tak ada guru di dalam sana.
Wah ada kak Gery di balik jendela kaca. Aku langsung mengucek-ucek mataku,
mencoba melihat lebih jelas lagi. Mungkin aku salah liat. Oh tidak, mata ku
semakin melotot memandangnya. Tak mungkin aku salah liat. Hati ku terasa sakit
dan tercabik-cabik melihat kak Gery membelai rambut dan mengelus pipi kak Stevani.
Ya benar, aku nggak salah liat. Dia selingkuh dari ku. Air mataku langsung
menetes. Padahal aku sudah menyayanginya. Kenapa dia berbuat begitu? Dan kenapa
dia menembak aku kalau dia sudah punya pacar. Nyesal sekali aku di perdaya oleh
nafsu.
Lama aku menatapnya
dengan cucuran air mata, sebuah tisu mendarat di pipiku. Halus sekali. Gilang?
Ada apa dengan mu? Kenapa dia tiba-tiba perhatian dengan ku?
“biarkan saja”
kata-kata halus itu yang kedua kalinya aku dengar darinya untuk ku, setelah dia
menanyakan kenapa aku menangis saat di ruang kepsek kemarin.
“thanks” hanya
itu yang bisa aku ucapkan. Lalu aku mengambil tisu dari tangannya dan
menghapuskan airma yang tersisa dari mataku.
“sebenarnya gue
mau jujur”
“bilang aja”
“sebenarnya,
gue yang ngasi bunga-bunga mawar itu setiap pagi”
Mata ku
langsung melotot tak percaya. Nggak mungkin, nggak mungkin. Orang yang sudah
bikin aku dongkol tiap pagi, ternyata dia yang memberikan mawar itu secara
sembunyi-sembunyi.
“loe bercanda?
Nggak mungkin kan? Gimana loe mau letakin mawar itu pagi-pagi? Padahal yang
selalu datang duluan kan gue”
“gue nggak
bercanda, loe emang yang selalu datang duluan, tapi Rani yang lebih dulu datang
dari loe” ucapannya membuat ku semakin tak mengerti.
“apa
hubungannya sama Rani?” aku masih tak percaya. Ku tatap matanya, ku cari sebuah
tanda kejujuran atau kebohongan kah yang ada di sana.
“loe pasti
belum tau sesuatu tentang gue, yang loe tau Cuma gue adalah anak manja yang
nyebelin”
“terus, yang
belum gue tau apa?” aku semakn penasaran.
“gue dan Rani
adalah sepupuan” suaranya semakin melemah, hampir tak terdengar. Tapi aku
mencoba untuk mendengarnya dengan seksama, sampai di buat kaget jantungku oleh
pengakuannya. “dan yang meletakkan mawar-mawar itu ada dia, dan yang hamburin kelopak
mawar tadi adalah gue, oh iya yang nulis sesuatu di meja loe adalah gue kaena
gue kecewa sama loe”
“kenapa?”
“karena loe
dengan mudahnya nerima segala gombalannya dan percaya begitu aja kalau dia yang
letakin mawar-mawar itu tiap pagi”
“gue juga nggak
tau kenapa”
“sebenarnya
gue..gue mau jujur nih” ucapannya terdengar grogi.
“jujur aja” aku
mempersilahkannya bicara, walau sebenarnya aku juga sedikit grogi ada di
dekatnya.
“sebenarnya..sebenarnya..
gue..gue.. suka sama loe”
“APA” suara ku
tak bisa terkontrol. Mungkin satu sekolah sudah mendengar suara kencang ku. Aku
kaget bukan main. Orang ini sadar nggak
sih dia ngomong apa. Batin ku berbicara. “loe bercanda? Loe pasti bercanda
kan?” ku pamerkan ketawa meledek padanya, tidak terlalu kencang kok. Hanya
pelan saja.
“gue nggak
bercanda kok, loe pasti bingung kan kenapa gue bisa bicara begitu sama loe? Gue
tau kok, Gilang yang nyebelin dan selalu mengundang pak kepsek datang, nggak
mungkin suka sama seorang Eva yang nyebelin dan nggak mau kalah” Gilang
menjelaskannya dengan sangat pelan, hingga aku harus memasang telinga
lekat-lekat ke arah pembicaraannya. “gue ngelakuin itu semua Karena Cuma ingin
dekat sama loe, emang terdengar aneh cara gue kalau seperti itu, tapi itulah
kenyataannya, saat kita bertengkar, gue selalu menikmati wajah loe yang lucu
kalau lagi tengkar sama gue” senyum jahil mengembang dari bibirnya.
“loe
benar-benar aneh”
“ya, gue emang
aneh, tapi gue ngelakuin itu semua karena gue mencoba menahan diri gue ke loe”
“nahan
maksudnya?” aku nggak mengerti, benar-benar nggak mengerti. Tanda tanya besar
melayang-layang di atas kepalaku. Siap-siap ingin bertengker di dalam otakku.
“ya mungkin
dari kelakuan gila gue kalau lagi jatuh cinta sama cewek jutek kayak loe”
“jutek-jutek suka
juga” godaanku membuatnya tersenyum malu.
“ itu emang
aneh, dan gue ngerasain itu saat kita kelas 2 SMP”
Keakraban mulai
terpancar dari diri kami masing-masing. Rasanya hukuman tidak terasa seperti
hukuman. Bahkan, ini adalah hukuman termanis sepanjang hidup ku selama di hukum
sama guru-guru. Tumbuhan, hewan, lapangan, ring basket, gawang, dan lain
sebagainya menjadi saksi Gilang menembak ku dengan perasaannya. Melankolis banget aku.
Hati ku emang
senang, tapi maaf aku nggak bisa menerimanya. Kenapa? Aku juga nggak tau, dan
aku butuh proses untuk memulainya. Jadi kuputuskan untuk bersahabat dulu dengannya
dan melupakan kak Gery yang menyakiti hatiku. Lebay banget aku, hehe.
Dan sekarang
aku tambah sayang sama pak kepsek karena telah memberikan hukuman termanis buat
ku. Walau sebenarnya aku tau, selama kami mengobrol, banyak sepasang mata yang
memperhatikan kami apalagi sepasang mata pak kepsek. Kami tak peduli, mereka
pun tak peduli. Mereka tak peduli karena mereka membiarkan kami akur dan
berdamai. We love you all.
The end and thank you
Tidak ada komentar:
Posting Komentar