Rabu, 17 April 2013


“Hukuman Termanis”
By : Tri Yuni Adistya
Pagi ini, mendung menghiasi suasana hatiku yang sedang galau. Berbagai macam pertanyaan terlontar keluar dari celah-celah otakku yang mulai berputar-putar bagaikan baling-baling yang terbang di angkasa bebas.
Mataku terus berputar bagaikan bola pingpong yang memantul-mantul di lantai ubin. Kedua tanganku menopang kepalaku yang terasa berat diangkat. Sesekali, aku melirik bunga mawar di atas mejaku cukup lama lalu kumainkan lagi bola mataku ke segala penjuru. Hampir setiap hari bunga mawar ini nangkring di bawah laci meja ku. Tetapi aku tidak pernah tau, siapa yang meletakkan bunga segar ini di bawah laci meja ku.
Ah, pusing sekali aku terus memikirkan orang itu. Jika ia meyukaiku kenapa harus sembunyi-sembunyi memberikan bunga mawar yang indah ini. Seperti biasanya juga, aku merontokkan kelopak - kelopaknya satu per satu. Seperti aku merontokkan pikiranku yang selalu penasaran dengan orang yang telah pengecut memberikan bunga mawar ini padaku.
“bunga mawar lagi?” tanya Monica begitu ia duduk di sampingku. Wajahnya fresh banget, model rambutnya juga berubah. Seperti biasanya, seminggu sekali ganti model rambut.
“iya nih, BeTe-in banget tau nggak, tiap hari ada mawar, tapi nggak tau pengirimnya” kataku lemes sambil terus mencabuti kelopak – kelopak bunga yang tak berdosa itu.
“ya sabar aja, paling nanti dianya muncul sendiri”
Aku tidak menjawabnya. Hanya senyum kecut yang aku sunggingkan di bibirku. Tanganku juga masih asyik mencabuti kelopak-kelopak bunga mawar tak bersalah. Kelopak bunga yang sudah terlepas dari tangkainya berhamburan di atas meja dan di lantai keramik yang warnanya sudah butek kecoklatan. Wanginya menari-nari di sekitar hidungku. Ada perasaan tenang di saat mencium wanginya yang menawan. Tapi pikiran ku tak pernah lepas dari si pengirim misterius.
Beberapa menit kemudian, suara singa lepas mengaum dari depan meja ku. Suaranya seperti memecahkan keramaian kelas XI IPS 1.
“kebiasaan deh loe, buat sampah di dalam kelas” bentakannya hampir melukai telingaku. “mau buat pemujaan roh nenek moyang loe, ngambur-ngambur mawar” lanjutnya sambil memainkan bola matanya melihat kelopak-kelopak mawar yang berserakan kemana-mana.
“ih apa-an sih loe teriak-teriak aja, suka-suka gue dong mau ngapain, nanti juga gue bersihin” suaraku tak kalah nyaringnya dari suaranya. Kalau suaranya tinggi suaraku akan lebih ku tinggikan hingga trdengar melengking seperti nenek lampir tertawa kemenangan.
Semula berawal dari bunga mawar, hingga menimbulkan pertengkaran adu mulut antara aku dan Gilang. Seperti biasa, setiap ada masalah kecil pasti dia selalu ikut campur hingga akhirnya menimbulkan masalah besar sampai di hadapan kepala sekolah. Dasar Gilang nyebelin, selalu hancurin hidup ku. Sudah 3 tahun aku sekelas dengannya, tetapi sekali pun tak pernah akrab dengannya.
Pertengkaran ku berakhir ketika kepala sekolah muncul di ambang pintu kelas ku. Sebenarnya ketua kelas ku yang bernama Radit sudah memperingatkan kami. Tapi sayang dia telat ngabarin, dan kami juga nggak dengar ucapannya karena terlalu asyik adu mulut. Aku dan Gilang langsung salah tingkah dan berpura-pura akrab.
“tidak usah pura-pura akrab, saya sudah dengar perkelahian kalian dari ruangan saya, cepat ikut ke ruangan saya” matanya kian melotot, pipiny seperti bergoyang saat ia bicara. Apalagi kumis tebalnya juga ikut bergoyang saat ia bicara. Bagaimana pun rupanya, beliau adalah kepala sekolah kami yang tersayang. “cepat..” pak kepsek langsung meninggalkan kelas kami, dan berjalan membawa kewibawaannya.
Sebelum meninggalkan kelas, aku dan Gilang saling bertatap mata. Menubrukkan kebencian yang terpendam sejak lama. Matanya tajam, aku membalasnya dengan lebih tajam lalu aku langsung meninggalkannya menuju ruang kepsek. Di juga mengikuti ku dari belakang. Seperjalanan kami, kami hanya diam membungkamkan mulut. Tak ada yang mengundang dan memancing emosi lagi. Walaupun mulut bungkam, tapi hati tak pernah bungkam. Saling mencela dari hati yang paling dalam. Yaelah, ada juga saling mencela lewat hati. Ada-ada saja kau ini.
Akhirnya kami langsung masuk ke ruang kepsek dan duduk ketika di persilahkan. Awalnya pak kepsek hanya diam dan memperhatikan kami satu persatu dengan tatapan tajam setajam pisau belati. Kami pun juga diam dan saling menundukkan kepala. Takut melihat kedua bola mata pak kepsek yang sedang garang. Tak ada suara, sepi, sunyi senyam di ruangan ini. Hanya ada suara detak jantung yang terdengar seperti dangdutan di padu dengan dentingan jam tua yang selalu berbunyi setiap satu jam sekali.
“jadi seperti itu kelakuan kalian di kelas? Mau jadi preman di sekolah ini? Apa kalian tidak malu? Ha…” kata-kata pembukaan di keluarkan oleh pak kepsek dengan sangat tajam. “Mau jadi apa kalian nanti?” terlihat ada genangan air di pelupuk mata tua pak kepsek. Apa? Pak kepsek mau nangis? “saya ini sudah bosan menangani kalian terus, saya juga banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, tapi kalian selalu buat masalah dan menambah kepenatan di otak saya” lanjutnya dengan suara pelan.
Kami tidak berkata apa-apa. Kami hanya menundukkan kepala seperti mengheningkan cipta. Mendengarkan segala macam ocehan pak kepsek yang terus berlarian keluar lewat telinga kanan. Hanya ada beberapa yang nyangkut disana.
Jiwa wanitaku keluar. Aku meneteskan air mata saat mendengar pak kepsek membawa-bawa orang tua ku yang sudah tiada. Hati ku terasa perih dan sakit mendengarnya. Karena aku tak pernah merasakan belaian orang tua kecuali orang tua yang mengasuh ku sejak bayi. Kabarnya aku di temukan di depan pagar kedua orang tua asuh ku. Sebersit rasa benci keluar dari hati ku. Aku benci, benci pada orang tua yang menelantarkan ku sewaktu bayi. Hingga harus kehujanan di tengah malam yang sunyi. Untungnya tangisan ku memecahkan suara hujan, hingga akhirnya orang tua asuh ku keluar dari rumah mewahnya.
Gilang juga masih tertunduk. Ketika mendengar suara isakan ku, ia melirikku dan langsung memberikan selembar tisu yang ada di kantung bajunya.
***
Akhirnya, selesai juga kepala sekolah berceloteh. Kami langsung meminta maaf beribu-ribu kali dan langsung keluar dari ruangannya.
Di setiap perjalanan menuju kelas, kami hanya diam membungkam. Aku masih merasakan mataku seperti bengkak sehabis menangis, jadi aku masih terus menundukkan kepala.
“kok loe nangis sih” Gilang langsung mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. suara halusnya membuyarkan isi lamunanku.
“bukan urusan loe” kepala ku masih menunduk, tetapi suara jutek ku tak pernah hilang.
“gue kan Cuma pingin tau”
“loe bisa diam nggak sih” aku sudah bosan mendengarnya berbicara. Ku angkat kepalaku dan menatapnya dengan tajam. Lalu aku berjalan setengah berlari menuju toilet sekolah untuk meredakan emosiku.
Gilang hanya bisa menatap kepergianku meninggalkannya. Lalu dia melangkahkan kaki lagi dengan perasaan nggak karuan.
***
Sepulang sekolah ini aku berencana jalan-jalan ditemani Monica, sahabatku. Sebenarnya dia nggak mau ikut alasan mau kursus bahasa Inggris, tapi karena ego ku, aku memaksanya ikut dan bolos dari kursusnya satu hari ini saja demi menghilangkan kepenatan dalam pikiran ku. Egois sekali aku ini, tapi akhirnya dia mau juga dengan senang hati. Katanya sih, dia juga pingin refreshing setelah sekian lama menatap tulisan-tulisan di dalam buku-buku yang tebal nian. Rasanya penat juga tuh mata.
Bangkitnya aku dan Monica dari kursi, ternyata mengundang sepasang mata liar yang sedari tadi memperhatikan tingkah ku.
“Eva, gue Cuma mau nanya kenapa tadi loe nangis pas di ruang kepsek?” sedari tadi sampai sekarang, mata Gilang membersitkan tanda tanya yang besar.
“apa urusan loe sih, tumben loe perhatian sama gue?” pertanyaannya ku sambut dengan dingin dan tatapan curiga dari kedua mata coklat ku.
“gue Cuma pingin tau aja kok”
“mending loe diam aja deh, nggak usah banyak berkicau lagi” tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung menarik tangan Monica dan pergi meninggalkannya.
“loe tadi nangis? Kenapa?” Monica yang mendengar pertanyaan Gilang tadi, bertanya ulang pada ku. Sebenarnya aku paling males kalau membicarakan waktu yang tidak mengenakkan. Tapi karena aku dan Monica sudah berjanji akan saling terbuka, akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.
Ehm, masalah yang baru ku pikirkan saat ini adalah kenapa si Gilang yang selalu cari masalah sama dia jadi tiba-tiba perhatian seperti itu. Ah mungkin akal bulus nya dia aja supaya bisa dekat sama aku. Aku nggak mau berteman dengan dia. Kenapa? Karena dia nyebelin dan bikin aku selalu berhadapan sama pak kepsek.
***

Keesokan harinya…
Hati ku semakin galau karena selalu menemukan bunga mawar tanpa nama pengirim. Rasanya ingin ku maki orang yang mengirimkannya secara sembunyi-sembunyi. Pengecut sekali dia, pikirku.
Oh mungkin ada sesuatu yang tertinggal. Kucoba meraba lagi laci ku hingga ke dalam-dalam dan ke ujung-ujung. Yes, berhasil. Aku menemukan sebuah kertas berwarna biru langit. Ehm, dia tau banget warna kesukaanku. Ehmm, wangi kertas ini seperti masih baru. Wangi mawar juga. Mungkin amplop ini di rendam pakai ribuan bunga mawar semalaman hingga baunya menusuk banget di hidung ku.
Perlahan-lahan tapi pasti, ku buka surat itu dengan rasa penasaran dan jantung yang kian memainkan gendang dengan sangat keras. Akhirnya aku tau siapa pengirim bunga mawar harian. Aku mencoba membacanya dengan senyum bersemangat.
Gomenasai, aku memang laki-laki yang pengecut
Pengecut kaena tidak bisa memberikan mawar ini secara bertatap muka
Bagiku, tak apa kau menganggapku begitu
Karena aku suka melihat wajah manis mu yang sedang kebingungan
Aku suka melihat bibirmu cemberut karena selalu ingin tau siapa diriku
Dan aku suka melihatmu tersenyum saat kau mendapati mawar ini
Aku ingin selalu melihatmu tersenyum, biarkan sang pelangi merasa iri dengan senyumanmu
Aku tak ingin melihatmu bersedih karena sesuatu hal yang tidak bisa aku mengerti
Karena saat itu terjadi padamu, hatiku kian mendung memikirkan kau yang bersedih,
Mata ku tak bisa terpejam karena terus memikirkan penyebab air matamu mengalir
Gomenasai..
Bisa kah kau temui aku di bawah pohon jambu di belakang sekolah?
Sekarang..

Huh, nyebelin banget. Tanpa nama pengirim. Tapi aku senang membacanya.  Kalau begitu aku harus bergegas ke pohon jambu.
Seperjalanan ku menuju pohon jambu, hatiku selalu riang gembira mendendangkan lagu-lagu cinta. Semakin senang hatiku. Sampai-sampai aku di pelototi aneh oleh semua penghuni sekolah yang aku lewati. Kenapa? Hehe, aku senyum-senyum sendiri.
Wah nggak sabar melihat wajahnya. Dari belakang aja terlihat keren, apalagi dari depan ya? Berbagai pertanyaan terus terlontar dari isi kepalaku. Jantungku bergetar tak menentu. Dengan segera aku langsung menghampirinya, tak lupa memamerkan senyum termanis.
“hai” sapaku terlebih dahulu
Ia langsung menoleh melihatku dengan tatapan liarnya. W-O-W, keren banget dari dekat. Gery, anak XII IPA 3. Kakak kelas nih, kok bisa nyantol sama aku ya? Tanda tanya besar berdiri tegak di atas kepalaku.
“oh hai, ada apa? Sini duduk” Gery membalas sapa ku dengan senyumnya yang di lengkapi lesung pipit seperti Afghan. Dia langsung menggeser badannya dan memberikan aku tempat untuk duduk.
“gue nggak nyangka ternyata kak Gery yang selalu mengirimi aku mawar”
“mawar?” ada tanda tanya besar di bulatan matanya. Apa maksudnya? “oh iya, kamu suka kan?
Tanpa di sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dan memasang telinga tajam-tajam. Ada mendung di hatinya saat melihat mereka berdua-an. Ada rasa menyesal di dalam dadanya. Ada perasaan marah pada dirinya dan ada perasaan benci pada Gery.
“suka banget kak, tapi kak Gery kenapa nggak ngasih langsung sih?”
“iya kah? Ehm, aku Cuma nggak tahan aja melihat wajah manis kamu. Kalau aku memberikannya secara langsung, aku bisa kaya semut ngeliat gula”
“kakak lagi ngegombal?”
“ah nggak kok”
Huek, rasanya ingin muntah mendengar kata-kata si Gery itu. Ingin rasanya ia keluar dari persembunyiannya itu. Tapi apa daya, kekuatan sedang tidak menyertainya. Muak melihat suasana tersebut, dia memilih pergi dengan perasaan dongkol.
“oh iya, ada sesuatu yang pingin aku omongin sejak lama” wajahnya menatap ku dengan serius.
“ada apa?” Tiba-tiba saja, jantung ku serasa berdebar kencang dan ingin melompat-lompat seperti kodok mencari mangsa.
“loe mau nggak jadi pacar gue?” matanya menatap ku secara dalam, sedalam benua pacific. Dalam banget kan? Rasanya jantung ini benar-benar pingin lompattt.
“Are you serious?” kataku tak percaya.
“Yes, I’m serious”
“aku senang banget kak” rasa senang ku berterbangan, serasa ada banyak bunga yang berterbangan di sekitar tubuh ku. “boleh kita coba”
“baiklah”
Teng-teng-teng. Bel tua menjerit sangat kencangnya. Saatnya masuk, dan aku harus mengakhiri pertemuan ku dengan pacar baru ku. Hahaha, narsis banget aku.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, hati ku masih berbunga-bunga. Orang-orang di sekelilingku terlihat bingung melihat ku yang senyum-senyum sendiri.
Sampai di depan kelas, ternyata ada Gilang dan Rani sedang duduk-duduk berdua di depan kelas. Kebetulan guru yang akan mengajar di kelas ku belum datang.
Aku memandangnya sinis, tapi dia memandangku sedih. What happen? Lama ia memandangku, aku langsung memalingkan wajahku dan langsung masuk kelas dengan bibir yang terus tersenyum.
“kayak nya lagi seneng banget nih, cerita dong” Monica yang melihat gelagatku seperti orang gila senyum-senyum sendiri langsung bertanya padaku dengan tatapan centil dan menggoda.
“iya nih, GUE JADIAN SAMA KAK GERY” nggak nyangka, ternyata aku teriak begitu kencangnya. Sampai-sampai, Monica yang ada di sampingku menutup telinganya dengan kuat. Mungkin satu kelas mendengar teriakan ku. Bahkan sampai keluar kelas dan terdengar sampai di kelas sebelah.
“kak Gery anak kelas XII IPA 3? Celutuk salah satu temanku yang bernama Ruli.
“yupz” dengan bangganya, aku memamerkan lagi senyum kemenangan.
Wah, hebat loe” kata si ketua kelas. Mungkin kalau aku melihat kepalaku sendiri, mungkin membesar sangkin bangganya.
“Selamat ya” kata Monica sambil menjabat tangan ku erat. Sepertinya dia juga bangga punya sahabat seperti ku. Hahaha, Ge-eR sekali aku.
Tak lama kemudian, Gilang dan Rani memasuki kelas dan disusul oleh pak sabar. Sangking sabarnya tuh, sesuai dengan gelar nama yang ia pikul. Aku memang senang dengan guru ini. Orangnya sabar banget. Sampai jarang ngerjain tugas pun, tak masalah oleh beliau.
Lama-lama di perhatikan, kayaknya tumben banget Gilang anteng-anteng di bangkunya. Biasanya kan dia berkicau mirip burung beo. Ada apa dengannya? Rasanya sepi juga kalau belum berantem sama dia.
***
Akhirnya jam istirahat tiba. Aku seneng banget karena bisa bertemu lagi dengan kak Gery. Siap-siap aku bangkit dan akan menuju ke kelas kak Gery. Emang nekat aku. Tanpa mengajak Monica lagi, karena biasanya setiap aku mau pergi pasti aku ngajak dia. Tapi yang ini nggak dulu deh. Hehehe.
Saat aku bangkit, Rani mendatangi ku. Rasanya tumben banget, apalagi wajahnya terlihat sangat serius. Lagi-lagi ku lirik Gilang yang sedang diam di bangkunya sambil memainkan I-pad apple nya. Kenapa sih anak ini? Tumben banget diam.
Tanpa ber bla-bla-bla, Rani langsung mengajak ku ke bangku paling pojok kelas. Ngapain sih? Kayak orang pacaran aja, nggak ding aku normal kok.
Apa yang ingin dia bicarakan dengan ku? Ku biarkan saja dia nyerocos duluan. Bla..bla..bla.. dan kesimpulan dari obrolan kami adalah…deng..deng.. yang meletakkan mawar di lacinya setiap hari adalah bukan kak Gery. Tentu saja aku marah dengannya. Tau dari mana dia hal itu? Jangan-jangan?? Ah nggak mungkin banget.
Aku langsung bangkit dari kursi dan langsung keluar kelas membawa rasa dongkol yang sangat-sangat.
Rani pun mulai berdiri juga dan mulai mendekati Gilang lagi. Ada apa dengan hubungan mereka? Sepertinya ada sesuatu yang penting hingga memancing emosi Gilang. Ehmm, ada yang nggak beres nampaknya.
***
Istirahat telah usai. Penyakit ku kambuh lagi. Senyum-senyum sendiri saat menuju kelas. Hati ku berbunga-bunga lagi. Serasa ada mahkota kebesaran yang melekat di atas kepala.
Mataku kian melotot ketika sampai di depan mejaku. Apa-apaan ini? Banyak sekali taburan bunga mawar di atas mejaku. Tapi kenapa? Mawar ini terlihat layu tak bersemangat. Siapa yang menaburkan ini? Monica mana ya? Apa dia tau ya? Ehm, lebih baik aku membersihkan meja ini. Saat Monica balik aku akan menanyakannya.
Sret..sret..sret.. saat aku menyingkirkan taburan bunga-bunga itu, aku melihat sebuah tulisan bertinta hitam. Seingat ku, meja ku ini paling bagus dan paling bersih di antara yang lain. Tapi aku yakin, ini memang benar-benar mejaku.
Ku perhatikan betul-betul tulisan itu. Apa ini? Aku kecewa, begitulah isi tulisannya. Siapa? Siapa yang kecewa? Dan untuk siapa kekecewaan itu? Tanda tanya besar melayang-layang di atas ubun-ubun ku. Membuat kepalaku menjadi pening nggak karuan. Seperti kusut otak ini.
“Monic, kamu tau siapa yang menyebarkan kelopak mawar di mejaku ini” begitu Monica datang, aku langsung menanyakan rasa penasaran ku padanya. Saat bersama Monica, aku memakai ungkapan aku-kamu. Tapi kalau sama orang yang nyebelin, nggak jarang aku pakai ungkapan loe-gue. Alay banget ya aku, hehehh.
Monica pun tak tau, dia hanya menggeleng seperti boneka kucing yang biasanya di pajang sama orang cina. Oh iya ya, boneka kucingnya kan mangguk-mangguk, bukan geleng-geleng. Ops, gomenasai.
kenapa sih loe suka banget buat sampah di kelas ini” pertanyaan sinis terlontar keluar dari mulut Gilang yang masih duduk di bangkunya. Coba aja gurunya nggak telat datang, Gilang nggak bakal mincing perkelahian.
“ih kenapa sih loe, lagian bukan gue yang buat sampah disini”
“ngeles aja loe, jelas-jelas sampah-sampah itu berserakan di atas meja loe”
“ish, pasti loe kan yang buat sampah di meja gue” tangan telunjuk ku menunjuk dirinya tajam. Sorot mataku berubah menjadi benci padanya.
“udah Va, jangan bikin ribut lagi” Monica mencoba menghentikanku. Tapi sayangnya, ucapannya nggak bisa masuk ke telinga ku. Rasanya otak ku sudah tertutup oleh rasa benci pada Gilang.
“biarkan dia berkicau Mon, lagian kurang kerjaan banget gue buat sampah di meja nya”
“dasar loe ya, jujur aja kenapa sih”
Segala sumpah serapah terlontar dari mulut ku. Begitu juga dengan Gilang yang kata-katanya semakin tajam dan pedas. Tak ada yang mau mengalah diantara kami. saling mempertahankan egonya masing-masing. Rasanya sakit juga hati ku. Dia benar-benar nggak bisa mengerti perasaan cewek.
Lagi-lagi pak kepsek datang dengan wajah yang lebih garang dari kemaren. Sepertinya dia sudah lelah banget menghadapi kami yang selalu bikin ribut di kelas. Dan lagi-lagi, kami di suruh keruangan beliau.
Sudah jadi kebiasaan ku dan Gilang yang selalu menghadap kepala sekolah berdua. Nggak heran kalau satu sekolah mengenal kami dengan jelas. Sebenarnya malu juga sih, tapi karena kebiasaan, rasa malu itu seperti tertutup. Padahal rasa malu kan sebagian dari iman.
Bla..bla..bla.. akhirnya pak kepsek memutuskan untuk menghukum kami di tengah lapangan yang sedang terik matahari. Sepertinya matahari itu tersenyum mengejek melihat kami berdiri di bawahnya sambil hormat pada sang bendera merah putih. Memalukan sekali.
Kulirik semua orang yang berjalan, aku dan Gilang sudah seperti artis ibu kota yang selalu di pandang. Kulirik Gilang yang terus diam dan mengucurkan banyak keringat dari dahinya, wajahnya terlihat pucat. Tiba-tiba hati ku merasa iba. Coba aja aku tadi dengerin Monica, pasti nggak bakal kayak gini kejadiannya. Sudah lah, nasi sudah menjadi bubur. Jalankan saja hukuman pak kepsek itu.
Tiba-tiba mataku ingin melirik kelas XII IPA 3, sepertinya tak ada guru di dalam sana. Wah ada kak Gery di balik jendela kaca. Aku langsung mengucek-ucek mataku, mencoba melihat lebih jelas lagi. Mungkin aku salah liat. Oh tidak, mata ku semakin melotot memandangnya. Tak mungkin aku salah liat. Hati ku terasa sakit dan tercabik-cabik melihat kak Gery membelai rambut dan mengelus pipi kak Stevani. Ya benar, aku nggak salah liat. Dia selingkuh dari ku. Air mataku langsung menetes. Padahal aku sudah menyayanginya. Kenapa dia berbuat begitu? Dan kenapa dia menembak aku kalau dia sudah punya pacar. Nyesal sekali aku di perdaya oleh nafsu.
Lama aku menatapnya dengan cucuran air mata, sebuah tisu mendarat di pipiku. Halus sekali. Gilang? Ada apa dengan mu? Kenapa dia tiba-tiba perhatian dengan ku?
“biarkan saja” kata-kata halus itu yang kedua kalinya aku dengar darinya untuk ku, setelah dia menanyakan kenapa aku menangis saat di ruang kepsek kemarin.
“thanks” hanya itu yang bisa aku ucapkan. Lalu aku mengambil tisu dari tangannya dan menghapuskan airma yang tersisa dari mataku.
“sebenarnya gue mau jujur”
“bilang aja”
“sebenarnya, gue yang ngasi bunga-bunga mawar itu setiap pagi”
Mata ku langsung melotot tak percaya. Nggak mungkin, nggak mungkin. Orang yang sudah bikin aku dongkol tiap pagi, ternyata dia yang memberikan mawar itu secara sembunyi-sembunyi.
“loe bercanda? Nggak mungkin kan? Gimana loe mau letakin mawar itu pagi-pagi? Padahal yang selalu datang duluan kan gue”
“gue nggak bercanda, loe emang yang selalu datang duluan, tapi Rani yang lebih dulu datang dari loe” ucapannya membuat ku semakin tak mengerti.
“apa hubungannya sama Rani?” aku masih tak percaya. Ku tatap matanya, ku cari sebuah tanda kejujuran atau kebohongan kah yang ada di sana.
“loe pasti belum tau sesuatu tentang gue, yang loe tau Cuma gue adalah anak manja yang nyebelin”
“terus, yang belum gue tau apa?” aku semakn penasaran.
“gue dan Rani adalah sepupuan” suaranya semakin melemah, hampir tak terdengar. Tapi aku mencoba untuk mendengarnya dengan seksama, sampai di buat kaget jantungku oleh pengakuannya. “dan yang meletakkan mawar-mawar itu ada dia, dan yang hamburin kelopak mawar tadi adalah gue, oh iya yang nulis sesuatu di meja loe adalah gue kaena gue kecewa sama loe”
“kenapa?”
“karena loe dengan mudahnya nerima segala gombalannya dan percaya begitu aja kalau dia yang letakin mawar-mawar itu tiap pagi”
“gue juga nggak tau kenapa”
“sebenarnya gue..gue mau jujur nih” ucapannya terdengar grogi.
“jujur aja” aku mempersilahkannya bicara, walau sebenarnya aku juga sedikit grogi ada di dekatnya.
“sebenarnya..sebenarnya.. gue..gue.. suka sama loe”
“APA” suara ku tak bisa terkontrol. Mungkin satu sekolah sudah mendengar suara kencang ku. Aku kaget bukan main. Orang ini sadar nggak sih dia ngomong apa. Batin ku berbicara. “loe bercanda? Loe pasti bercanda kan?” ku pamerkan ketawa meledek padanya, tidak terlalu kencang kok. Hanya pelan saja.
“gue nggak bercanda kok, loe pasti bingung kan kenapa gue bisa bicara begitu sama loe? Gue tau kok, Gilang yang nyebelin dan selalu mengundang pak kepsek datang, nggak mungkin suka sama seorang Eva yang nyebelin dan nggak mau kalah” Gilang menjelaskannya dengan sangat pelan, hingga aku harus memasang telinga lekat-lekat ke arah pembicaraannya. “gue ngelakuin itu semua Karena Cuma ingin dekat sama loe, emang terdengar aneh cara gue kalau seperti itu, tapi itulah kenyataannya, saat kita bertengkar, gue selalu menikmati wajah loe yang lucu kalau lagi tengkar sama gue” senyum jahil mengembang dari bibirnya.
“loe benar-benar aneh”
“ya, gue emang aneh, tapi gue ngelakuin itu semua karena gue mencoba menahan diri gue ke loe”
“nahan maksudnya?” aku nggak mengerti, benar-benar nggak mengerti. Tanda tanya besar melayang-layang di atas kepalaku. Siap-siap ingin bertengker di dalam otakku.
“ya mungkin dari kelakuan gila gue kalau lagi jatuh cinta sama cewek jutek kayak loe”
“jutek-jutek suka juga” godaanku membuatnya tersenyum malu.
“ itu emang aneh, dan gue ngerasain itu saat kita kelas 2 SMP”
Keakraban mulai terpancar dari diri kami masing-masing. Rasanya hukuman tidak terasa seperti hukuman. Bahkan, ini adalah hukuman termanis sepanjang hidup ku selama di hukum sama guru-guru. Tumbuhan, hewan, lapangan, ring basket, gawang, dan lain sebagainya menjadi saksi Gilang menembak ku dengan perasaannya. Melankolis banget aku.
Hati ku emang senang, tapi maaf aku nggak bisa menerimanya. Kenapa? Aku juga nggak tau, dan aku butuh proses untuk memulainya. Jadi kuputuskan untuk bersahabat dulu dengannya dan melupakan kak Gery yang menyakiti hatiku. Lebay banget aku, hehe.
Dan sekarang aku tambah sayang sama pak kepsek karena telah memberikan hukuman termanis buat ku. Walau sebenarnya aku tau, selama kami mengobrol, banyak sepasang mata yang memperhatikan kami apalagi sepasang mata pak kepsek. Kami tak peduli, mereka pun tak peduli. Mereka tak peduli karena mereka membiarkan kami akur dan berdamai. We love you all.

The end and thank you

Tidak ada komentar:

Posting Komentar